Selasa, 31 Agustus 2010

Sayap Malaikat

Aku benci diriku sendiri, karena aku dibilang abnormal. Orang lain, semua dapat bermain di atas balok titian dan menaiki sepeda, tetapi aku tidak. Aku telah didiagnosa menderita berbagai kerusakan urat syaraf tulang belakang. Aku tahu akan selalu lebih pendek dari yang lain.

Aku benci ke sekolah, dan aku benci teman-temanku sekelas. Aku benci orang yang melihat diriku, dan menanyaiku banyak pertanyaan. Aku benci jika melihat orang lain tersenyum lebar, dan memiliki badan yang tegap.

Dan yang paling aku benci dari semua ini adalah melihat ke cermin, tampak sosok ganjil yang jelek dan bongkok.

Teman-temanku mengatakan diriku dingin dan menyendiri, dan selalu menjaga jarak dengan orang lain. Aku pikir aku akan selamanya begini sepanjang sisa hidupku, hingga engkau muncul.

Sore itu, aku sedang duduk sendirian di sebuah sudut kampus, sebuah tempat yang aku anggap tidak akan diganggu oleh siapapun. Tiba-tiba, aku mendengar suara.

“Hai. Bolehkah aku duduk di sini?”

Kuangkat kepalaku dan melihatmu. Kamu pendek kekar dengan rambut ikal, dengan sebuah senyum yang menarik di wajahmu. “Apa yang kau lihat?"

“Semut.”

“Lagi ngapain mereka?”

“Nggak tahu.”

“Aku bertaruh mereka pasti sedang bermain dan mulai membentuk kelompok teman. Apakah kau sependapat denganku?"

Begitulah kami mulai sebuah perbincangan. Kami terus berbicara apa saja di bawah cahaya matahari – semut, awan, tempat menyendiri yang kecil ini…, hingga waktu senja.

Tiba-tiba, pandangan matamu jatuh kepunggungku. Kau terus-menerus melihatnya.

“Oh tidak. Hal yang paling kukhawatirkan terjadi! Kamu telah menemukan kelainan pada diriku dan aku yakin engkau kini akan membenciku.”

Engkau berdiri, menunjuk punggungku dan berkata, ”Aku tahu mengapa punggungmu bungkuk.”

Kututup mataku seperti penjahat menunggu hukuman dijatuhkan. Dalam hatiku memohon padamu untuk tidak meneruskan perkataanmu. Tetapi dengan rasa puas engkau terus memandangi punggungku dan berkata, ”Aku tahu apa yang kau punya di punggungmu. Tahukah kau?”

“Tidak.” Aku menjawab dengan loyo.

Engkau berjongkok dan berbisik di telingaku.

“Punggungmu bungkuk karena engkau mendapatkan sepasang sayap dari malaikat.”

Aku bingung. Menatap matamu. Kelembutanmu menyentakkan sanubariku. Saat itu, seluruh baju besi dan sepatu lariku mencair dalam kehangatan hatimu.

Sejak saat itu, aku mulai belajar mencintai diriku sendiri, karena aku memiliki sepasang sayap malaikat, dan seorang sahabat yang demikian baik hati.

Aku Cemburu

Aku terpojok lesu, dibawah sebuah pohon yang cukup meneduhiku...
Kumenarawang ke atas, ke tempat matahari berada...
Basah keringat dan sekaan peluh memenuhi tubuhku..
Aku lelah, aku capai, aku tak berdaya, dan yang memilukan aku tak menyangka...

Begitu beratnya mendapat secuill kecil hak atas surga..
Begitu penuh cercaan hanya untuk memenuhi kewajiban kecil atas dunia..
Hingga kusendiri tak memahami, mungkin juga iri..
Melihat godaan indahnya duniawi ini...

Masih kudongakkan kepalaku ke atas, memandang tanpa makna...
Mulutku menganga tanpa bisa berujar satupun kata kata...
Hingga akhirnya ingin kulepaskan semua beban ini..
Dan kulegakan goresan goresan perih di hati ini...

Kukatakan dengan lantang,

"...
Matahari, penerang siang di hari hariku...
aku cemburu!!! aku cemburu padamu...
iri...iri aku denganmu...
lihat kepalanku, lihatlah ini, kuhantam terikmu..
sedemikian aku benci dalam kekagumanku padamu...

Begitu ikhlasnya kau, menyinari bumi..
tempat jutaan dosa terjadi setiap hari..
tempat manusia lupa syukur pada penciptamu setiap hari..
tempat ruh ruh sombong yang terus berusaha melangkahi pemilikmu tiap hari..

Kau simfoni siangnya pagi untuk memberi warna hari ini,
Kau beri sinar untuk padi dan sahabat sahabatnya memberi energi,
Kau samarkan terik yang membuat mereka mengerti arti perjuangan hidup ini,
Kau ilhami diri ini, untuk menepikan hati pada tepian kehangatanmu saat ini...

Mereka umpatkan terikmu yang menghitamkan mereka...
Mereka kecewakan sinarmu yang memanasi mereka..
Namun kau tidak sungkan hadir di saat masanya tiba..
Kau tidak berpilih ke Bumi lain di saat hinaan itu membahana...

Sedangkan aku, hanya karena bisa berbuat rupa..
sudah begitu bangga dan lupa dunia..
hanya karena cercaan, hinaan dan fitnah saja..
aku menjadi kesal tiada tara...

Aku cemburu padamu..hai Matahari!!!
kenapa tak kau cari saja bumi yang lain...
kenapa tak kau cari sosok yang bisa menghargaimu..
kenapa tak kau cari sesuatu yang lebih bisa memberimu arti...

Aku cemburu...dan terus cemburu padamu...Matahari...

..."

angin semilir yang membiusku, membuatku makin tak berdaya..
diantara kelelahan,kepenatan, dan kelegaan cerita...
aku pun tertidur pulas, diatas rerumputan berwarna hijau tua...
semoga saat ku membuka mata, duniaku lebih berwarna...

Kamis, 26 Agustus 2010

'Seorang lelaki dan iblis yg menangis'

Aku meneguk tehku sampai habis, kemudian
meletakkan cangkirnya di meja kecil samping
tempat tidurku. Kuletakkan buku yang kubaca.
Membuang rasa penat, aku bangkit, berdiri sambil
meletakkan tangan di pinggang, lalu membuat
gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan.
Gemeretak bunyi tulang punggungku terdengar
begitu nikmat.

Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah
rasanya? Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada
kenikmatan lain yang ditawarkan alam padaku. Di
luar, sinar bulan yang baru mulai muncul
menyeruak masuk dari pintu beranda kamarku.
Menyeret sendal kamar di kakiku, aku membuka
pintu beranda.

Maksud hati ingin lebih menikmati indahnya
panorama itu, tapi pemandangan lain kontan
menyedot perhatian di balik pintu yang terbuka.

Seorang, seekor - atau sesosok - Iblis duduk di
beranda. Kukenali dari dua tanduk di kepala, tubuh
telanjang tanpa alat kelamin dan ekor dengan
bentuk mata panah diujungnya. Sinar lampu di
belakangnya membuat posisinya membentuk
seperti siluet the thinker, karya Auguste Rodin.
Sesaat, berandaku terasa seperti galery museum
Decorative Arts di Paris. Mendadak rasa takut
menyelimuti tubuhku. Kuamati lekat mencari tanda-
tanda, apakah ini patung? Atau iblis yang
sebenarnya?

Hah..! Ia mendesah panjang!

Dalam keterkejutanku, kucopot sendal kamarku


dan kulempar sekuat tenaga ke arahnya. Sendal
itu terlalu ringan, dan aku melempar tanpa bidikan
yang jitu. Bukan menampar wajahnya, sendal itu
malah menyangkut di salah satu tanduknya. Dan
itu rupanya tidak cukup mengganggu, apalagi
mengusirnya. Bahkan ia tidak bereaksi sedikit
pun.

Ku tunggu beberapa detik, yang terasa seperti
bermenit-menit. Ia tetap tidak bereaksi. Lalu
kuputuskan mencoba mengusir dengan teriakan
agak keras, "Hush.. Pergi Sana!"

Tapi ia masih disitu. Duduk di ujung kursi
berandaku. Aku sejenak ragu.
Takut, tapi harus berani. Bagaimana pun aku
orang beragama bukan? Orang beragama tidak
boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada
TUHAN. Pada ALLAH sang pencipta.

Jadi kudekati dia lebih dekat, dan kuulangi
teriakan pertama dengan sisa sebelah sandal
kamar teracung di tangan kananku. Ia menoleh
sedikit, dengan sendal kamar masih menyangkut
di tanduknya, membuatku bersiap atas
kemungkinan berhadapan dengan kemarahan sang
Iblis. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Lho?
Ia menangis!

Mataku tertumbuk pada matanya yang berair. Bulir
air mata tampak satu-satu
turun dari sudut matanya. Ia menoleh dengan
sudut lebih besar, sehingga wajahnya kini terlihat
lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis -
walau tentu saja aku tidak pernah tahu gambaran
wajah Iblis sebenarnya. Tapi paling tidak wajahnya
tidak seperti wajah-wajah jin atau iblis dalam film
Hollywood. Mungkin agak mirip tokoh Sith Lord di
Phantom Menace-nya George
Lucas, botak, bertanduk, hidung mancung dan
mata yang besar, tapi cukup
bersih dan cakap.

"Pergi.. Jangan ganggu!", kali ini seruanku lebih
perlahan tapi tetap tegas.


Sesaat ia mengamatiku, kemudian menjawab.
Suaranya terdengar agak parau dan
kasar.

"Mengapa?", tanyanya, "Kau begitu takut
padaku?"

Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia
yang tidak takut Iblis? Tapi
seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan
hanya takut pada ALLAH,
pada TUHAN yang kita sembah. Dan aku orang
beragama, jadi aku berbohong
padanya, "Aku tidak takut sedikit pun padamu!"

Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-
kakek tua.

"Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku?
Pemimpin besar dari segala Iblis?"

"Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan
di seluruh dunia dan akhirat", jawabku. Entah
siapa yang aku coba yakinkan, dirinya atau diriku
sendiri.

"Kau tidak berdusta?", tanyanya.

Aku agak ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu
dosa bukan? Iblis ini memang
sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap
dengannya, aku sudah melakukan
satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar
sandal ke kepala sang Iblis
termasuk perbuatan dosa? Entahlah, mungkin
nanti aku periksa dalam kitab suci - kalau-kalau
ada ayat yang menyatakan tentang itu-. Yang
jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini,
berarti aku sudah berbohong dua kali.

Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit.
Semoga mengangguk kecil tidak
termasuk berbohong.

"Lalu kenapa aku harus pergi?" tanyanya
lagi. "Apakah dengan duduk disini
sudah demikian mengganggumu? Atau kau
demikian benci padaku?"

"Kau Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala
Iblis. Tentu saja aku benci
padamu. Apa yang kau harapkan? Aku
mencintaimu? Edan!"

Iblis itu menunduk. Lalu mulai menangis seperti
anak kecil. Tersedu-sedu,
kepalanya mengangguk-angguk. Sendal di
tanduknya jadi bergoyang-goyang.
Pemandangannya agak lucu sebenarnya, tapi
segera tertepis dengan kecurigaan
yang muncul dalam benakku.

"Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku
Iblis? Hentikan tangismu!
Kau bisa membangunkan seisi rumahku!"

Setelah menarik napas panjang beberapa kali,
isaknya menyurut. Ia menatapku
dengan tatapan sedihnya. "Boleh aku minta teh?"

Aku tidak habis pikir, tentu saja. Untuk apa
seorang -atau sesosok- iblis
minta teh? Kecurigaanku bertambah. Pasti -kataku
yakin dalam hati- ia sedang
merencanakan sesuatu.

Apa pilihanku? Menolak? Bagaimana orang yang
percaya pada Allah bersikap
dalam kondisi begini? Apakah memberi teh pada
Iblis adalah satu dosa?

Seandainya saja ada malaikat yang hadir di sini,
mungkin aku bisa bertanya.
Entah benar atau tidak, malaikat itu rasanya
seperti polisi di negeri ini saja. Saat dibutuhkan,
tak tahu kemana rimbanya. Ataukah mereka ada,
dan aku saja yang tidak mengetahuinya?

Apakah setiap kali Iblis hadir dan menggoda
manusia, otomatis malaikat akan
hadir pula? Seperti visualisasi pertempuran bathin
tokoh-tokoh kartun dalam
film walt disney dimana ada gambaran sosok
bersayap dan sosok bertanduk yang
saling membujuk? Kalau ya, di mana mereka kini?

Aku memincingkan mata, mencoba mencari sosok-
sosok putih bersayap. Di
sudut-sudut beranda, di taman pekarangan, di
balik selasar. Sekali kusenggol
pintu perlahan dengan kakiku untuk mengecek -
jangan-jangan ada malaikat di
baliknya-. Tapi tidak ada tanda-tandanya.

Jadi aku masuk ke dalam, menghampiri poci teh
di meja samping tempat
tidurku. Kuusap bibir cangkir yang bekas kupakai
dengan bajuku, lalu kutuang
teh secukupnya, dan kubawa kembali ke beranda.

"Dengan satu syarat," kataku saat mengacungkan
cangkir teh ke depan
hidungnya. "Habiskan ini, dan tinggalkan
berandaku!"

"Baiklah." katanya sambil mengambil cangkir yang
kusodorkan. Sebaliknya ia
menyodorkan sendal kamarku.

Aku mengenakannya sambil mengawasi ia
menempelkan cangkir ke bibirnya, lalu
menyeruput teh yang masih agak hangat itu.
Perlahan, dan sedikit sekali.
Saat selesai kulihat isi cangkir itu tidak terlihat
berkurang.

Brengsek, makiku dalam hati. Sekali lagi aku
tertipu. Dengan cara minumnya
seperti itu, bisa lebih dari sepuluh kali tegukan ia
baru menghabiskan
secangkir teh setengah penuh. Berapa banyak lagi
tipuan Iblis yang lahir
dari kata-kata manusia sendiri?

"Terimakasih, hangatnya teh ini sangat melegakan
hatiku yang sedang sedih."
katanya sambil memegang cangkir itu dengan
kedua tangannya, seperti mencari
kehangatan di sana.

"Aku tidak akan termakan permainanmu Iblis."
sahutku kasar. "Kebaikanku
memberikan teh, jangan kau artikan kelemahan.
Jadi sebaiknya kau tetap tutup
mulut, cepat nikmati dan habiskan teh itu, serta
segera berlalu dari sini.
Ini bukan rumah yang menerimamu dengan tangan
terbuka."

Ia mengangkat tangannya sedikit menahan kata-
kataku. "Kau orang baik.
Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa
begitu kasar?"

"Kepada Iblis tidak ada larangan berkata kasar."
sahutku.

"Begitukah?" tanyanya hampir pada dirinya
sendiri. "Yang dilarang bukan
perbuatannya tapi kepada siapanya?"

Brengsek. Aku sadar kemana arah pertanyaannya.
Lebih brengsek lagi,
gugatannya memang benar. Dalam banyak hal,
perbuatan memang dilarang bukan
atas perbuatannya, tapi pada siapanya.
Membunuh pun jadi halal ketika
diletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh.
Perkara siapa yang kompeten
menentukan pantas-tidaknya, itu adalah perkara
lain.

Semestinya hanya pemberi kehidupan yang punya
kompetensi untuk mencabut
nyawa. Tapi bahkan TUHAN pun sepertinya
menggunakan sistem perwakilan. Kalau
tidak, bukan tangan malaikat yang mencabut
nyawa manusia, tapi tangan TUHAN
sendiri.

Jadi mungkin wajar pula kalau sebagian orang
merasa jadi wakil TUHAN untuk
mencabut nyawa orang lain. Alasan kafir sudah
cukup untuk hilangnya selembar
nyawa manusia. Walaupun sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan sosok
psikopat Jack The Ripper yang merasa jadi wakil
TUHAN dan membunuhi pelacur.


Ah, aku mengusir pikiran-pikiran yang muncul
dalam benakku. Aku pasti sudah
terjebak dalam permainan kata-kata si Iblis. Ia
memang pandai. Sangat
pandai. Bodohnya aku yang terus membiarkannya
berkata-kata.

"Tahukah kau mengapa aku sedih?" tanyanya.

"Kau hendak mencobai aku, Iblis?"
sergahku. "Jangan kau coba-coba. Aku tidak
akan beranjak dari keyakinanku untuk
mengikutimu."

"Aku hanya bertanya," sahutnya. "Mestinya kau
berempati pada mahluk yang
tengah kesusahan."

"Iblis kesusahan?" kataku sambil sedikit
tertawa. "Tentu saja kau akan
kesusahan sejak kau menantang ALLAH! Dan
tidak ada empati untuk mahluk
penentang ALLAH."

Aku sengaja mengatur nada suaraku agar
terdengar sangat sinis.

"Empati. Memang kau siapa? Untuk korban
kejahatan, korban bencana alam, kaum
dhuafa, empati tentu saja wajib diberikan. Tapi
untuk Iblis macam kau? Untuk
manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan
sosial masyarakat seperti
bandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak
ada empati untuk mereka.
Mereka bukan victim, bukan korban. Mereka
adalah pelaku kejahatan. Apalagi
kau sumber segala kejahatan manusia!"

"Bukankah manusia-manusia yang kau katakan itu
adalah korban juga? Korban
ketidakadilan sosial, korban penindasan politik,
korban masyarakat? Bukankah
melanggar hak asasi manusia kalau tidak ada
sedikitpun empati untuk mereka?"


Di relung-relung benakku, terbersit pikiran kalau
sang Iblis ini mulai
terlihat belangnya. Lihat saja, ia tidak lagi
menangis, dan mulai mencoba
beretorika. Memang benar ajaran-ajaran kitab suci
tentang watak sang Iblis.
Bayangkan saja, ada Iblis berbicara soal Hak
Asasi Manusia! Busuk benar kan?


Persis seperti negara adikuasa yang membom
negara lain atas nama hak asasi
manusia. Persis seperti para pembela agama yang
membunuhi manusia lain.
Walaupun untuk perihal korban, apa yang
dikatakannya benar, tapi mana
mungkin aku terima begitu saja? Persetan dengan
hak asasi manusia! Toh
konsep hak asasi semakin lama sudah semakin
bias, seperti juga konsep-konsep
demokrasi, kebebasan, hukum, semua alur dan
letaknya sudah sangat campur
aduk dalam tatanan hidup masyarakat modern
sekarang ini.

Entah kapan tepatnya, di masa depan komunisme
mungkin malah akan
bersandingan dengan theis, dan bukan dengan
atheis.

Tiba-tiba aku seperti tersadar. Tentu saja! Yang
bertanggung jawab atas
campur aduknya semua itu, tentu adalah sosok di
hadapanku ini! Sang iblis!
Jadi bukan manusia yang keblinger. Bukan
manusia yang jahat. Tapi sang
Iblis!

Bukan manusia yang korup, bukan manusia yang
pemerkosa, bandar narkoba,
maling... Pikiranku terhenti sendiri. Benarkah?
Benarkah bukan manusia yang
menjadi penjahat? Kalau begitu manusia juga
hanya victim? Victim dari
kejahatan si Iblis, penipuan si iblis, hasutan si
iblis.

Iblis ini benar-benar hebat. Apa yang dilakukannya
sesuai dengan
reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis
dihadapanku mulai berkata-kata
lagi.

"Dan katamu aku menentang Allah? Itu tidak
benar!" Wajahnya lebih
menunjukkan raut bingung ketimbang marah.

"Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang
pemberontakanmu menantang ALLAH.
Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi
sifatmu bukan?"

Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku.

"Aku hanya menjalankan perintah ALLAH."
katanya perlahan. "ALLAH
memerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk
menggoda manusia, menguji
sejauh mana ketaatannya pada ALLAH. Apakah
itu berarti menentang ALLAH?"

Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-
katanya, "Kalau Iblis menentang
perintah ALLAH untuk menguji manusia, apakah
ada Iblis yang menggoda
manusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-NYA?
Mengapa manusia harus
membenci aku? Bukankah ini hanya just business
and nothing personal."
katanya dengan raut tidak berdosa.

Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan
lagi kata-katanya.

"Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa
kalian manusia begitu membenci
aku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa
yang diberikan Allah padaku.
Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa
apa-apa atas kekuasaan
Allah?"

Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit
melawan pemikiran dan kata-kata
Iblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata
dalam ayat suci untuk
menjawab sang Iblis.

Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak
hanya membaca -tanpa memahami-
huruf- huruf itu setiap malam. Apakah ada yang
bisa kugunakan untuk melawan
kata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai
runtuh saat aku tidak
kunjung menemukan jawaban yang ampuh.

Mungkin seharusnya ada rumusan untuk melawan
iblis secara jelas. Untuk
menjawab godaan A, bacalah ayat A, untuk jenis
godaan B, bacalah ayat B.
Pada siapa pula aku harus menuntut-nuntut hal
seperti ini. Pada ulama?
Pendeta? Guru ngaji? Penginjil? Literasi dalam
kitab suci tidak diterjemahkan dalam rumusan ces-
pleng model begini. Kita hanya disodorkan pada
dongeng-dongeng, cerita-cerita, hikayat-hikayat
dan harus menimba sendiri inti sarinya.

Berbondong-bondong manusia menjemput
undangan sang Iblis karena kehabisan
pemikiran untuk menyanggah pertanyaan yang
dilontarkan sang Iblis.

Bagaimana cara melawan sosok Iblis dan
pemikiran-pemikiran hebatnya? Dengan
Iman? Hanya thok percaya pada kekuasaan
ALLAH? Bagaimana teknis-praktisnya?
Terpikir olehku satu jawaban : Menyebut nama
ALLAH. Mungkin mestinya itu
yang aku lakukan, tapi alih-alih aku malah
melontarkan satu kalimat
bentakan, "Hah..! Kau benar-benar raja Iblis.
Kepandaianmu memutarbalikkan
fakta memang menjadi ciri yang lekat dengan
Keiblisanmu."

Ia terdiam. Kuharap bentakan itu cukup
meneguhkan keimananku. Cukupkah?
Menunding orang lain jahat memang lebih mudah
dilakukan. Perkara apakah itu
akan mendudukan kita jadi orang yang sama
jahat, itu lain soal. Yang penting
harus ada penegasan, aku tidak sama dengan
kau. Kau penjahat, aku bukan
penjahat. Kau maling, aku bukan maling. Kau
penipu rakyat, aku bukan penipu
rakyat. Pendek kata, kau Iblis, aku bukan iblis.

Pikiranku membangun puing-puing keyakinanku
untuk menghadapi sang Iblis.
Kita perlu kepercayaan diri yang tinggi untuk
melawan ketidakbenaran bukan?
Tidak salah kalau kepercayaan pertama yang
harus dimiliki adalah mempercayai
kita berada di pihak yang benar. Apa yang kita
lakukan adalah benar-benar
benar. Tanpa itu kita akan selalu berada dalam
ambang ambigu. Perkara
kebenaran itu versi kita pribadi, masa bodo lah.
Toh yang kita lawan adalah
sosok kejahatan, dajjal, sang Iblis.

Aku mulai tersenyum seiring tumbuhnya
keyakinan baru. Kutatap wajahnya
lekat-lekat, saat Iblis itu mendongak dan bertanya
tiba- tiba.

"Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut
nyawa?"

Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali
menjawabnya, pikirku.

"Kenapa harus membenci? Ia malaikat! Tentara
ALLAH! Mahluk suci yang tidak
mau berpaling dari ALLAH. Tidak sepertimu!"

"Bukankah ia yang mencabut nyawamu?"

"Ia menjalankan itu atas perintah ALLAH! Itu
tugasnya, Bodoh!" Makianku
akhirnya terlontar juga di atas ketidaksabaranku.

"Bukankah aku pun demikian? Aku hanya
menjalankan tugas." sahutnya perlahan.
"Entah apa kepercayaanmu terhadap ALLAH, tapi
semestinya kau tahu bahwa
rencana ALLAH yang mendudukan manusia - iblis
dan malaikat dalam hubungan
seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita
masing-masing."

Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat
panjang, dan penuh dengan
pertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan.
Walau keyakinanku - bahwa aku
adalah sang benar yang tengah melawan sang
iblis- tidak surut, tapi aku
pikir perlu berpikir secara strategis untuk
menghadapinya.

Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan
Iblis. Bagaimana pun ia Iblis
dan aku manusia. Apakah manusia berkuasa
untuk mengalahkan Iblis? Mestinya,
ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih
rendah atau lebih tinggi dari
kekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia.
Aku tidak tahu, dan tidak mau
berspekulasi.

Melawan kejahatan manusia saja kita perlu
berstrategi, apalagi biang segala
kejahatan ini. Aku pernah membaca di sebuah
buku, gembong kejahatan Al
Capone pernah berkata, Jika kamu tidak bisa
menang dengan bertarung secara
fair, main kotor itu wajib, atau usahakan pihak
ketiga menjalankan
pertarunganmu.

Saat ini tentu saja tidak ada pihak ketiga, karena
hanya ada aku dan sang
Iblis. Begitupula aku tidak akan bisa menang
secara fair. Jadi pilihannya
yang tersisa hanya main kotor.

Jadi aku berkata perlahan saja.

"Okelah, kau sedih karena manusia membencimu.
Lalu apa maumu?"

Ia tampak bingung sendiri. Kepala bertanduknya
menggeleng-geleng perlahan.

"Aku... aku hanya ingin tidak dibenci. Itu saja."

"Bagaimana kalau kukatakan aku tidak
membencimu. Apakah itu cukup bagimu?"
sahutku dengan nada membujuk. Tiba-tiba sebuah
ide muncul dalam benakku.

"Kalau manusia tidak membencimu apakah kau
akan terus menggoda manusia, atau
kau akan pensiun menjadi Iblis?"

Mungkinkah manusia menjadi jalan keselamatan
untuk sang Iblis? Sungguh,
prestasi besar kalau bisa begitu. Apakah ada
bonus pahala khusus untuk
manusia yang bisa menghentikan karya sang Iblis
di dunia? Tiket langsung
menuju surga rasanya pantas untuk ganjaran
prestasi semacam ini. Menumpas
kejahatan, terdengar heroik sekali kan? Walau
dalam prakteknya menggunakan
kejahatan lain, tapi gelar orang suci dan bonus
tiket itu terlalu menarik
untuk dilewatkan. Pantas saja begitu banyak
seruan untuk menumpas pemimpin
negara yang dinilai kafir.

Tiba-tiba ia berkata, "Kalau aku menjadi pengikut
ALLAH yang setia, apakah
manusia tidak akan membenci aku?"

Aku terkesiap sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa
manusia yang mau percaya
bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang
mahal dalam dunia.

"Aku tidak tahu." jawabku. "Hati manusia tidak
bisa terbaca semudah membaca
tulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal
manusia juga tidak terukur dalam
dimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa
kau begitu terganggu soal
benci-membenci ini?"

"Manusia memang begitu." katanya. Sedikit
tersenyum ia melanjutkan. "Kadang
Iblis lebih jujur dibandingkan manusia."

"Hah...!" sergahku pendek.

"Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya
sebagai pembuat kejahatan.
Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan
sang KHALIK - pun manusia masih
bisa berdusta."

"Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat nanti,
tidak akan ada yang mampu
berdusta ketika dihadapkan pada sang KHALIK."
kataku yakin.

"Tapi ya, di dunia bukan?" sang Iblis menatapku
dengan matanya yang kini
tidak berair lagi. "TUHAN, ALLAH tidak hanya
menunggu di perhentian
terakhir. DIA menyertai manusia sepanjang
hidupnya. Apakah kau tidak
merasakannya?"

Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti.
Kadang ada saat-saat ALLAH
terasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga
merasa tidak ada siapapun di
dunia ini. Seperti kalimat dalam film alien-
futuristik : we are all alone.

"ALLAH tidak membutuhkan manusia untuk
merasakannya. Ia pasti hadir." Aku
terkejut sendiri dengan kata-kata yang terlontar
tiba- tiba dari bibirku.
Bagaimana pun, itu jawaban diplomatis yang
bagus bukan? "Tapi manusia sering
berdusta dalam doa, berdusta dalam karya, bicara,
kata-kata dan perbuatan."
kata Iblis.

"Atas bujukanmu tentu." sahutku pendek.

"Atas perintah ALLAH pula tentu." sahutnya
tersenyum.

Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main
kotorku untuk membujuk sang
iblis telah gagal total. Tinggal satu cara
menyelesaikan perdebatan tidak
bermutu ini.

"Enough! Cukup. Jangan lagi tebarkan
kebohongan-kebohongan di berandaku ini.
Silahkan kau habiskan tehku, dan pergilah cepat.
Dan satu lagi." kataku
dengan nada keras. "Jangan coba-coba kembali
kesini. Lain kali aku akan
memakai sepatu boot." kataku mengancam.

Aneh tapi nyata, ancaman itu efektif. Sekali lagi
aku teringat sebaris
kata-kata dari buku tentang gembong mafia Al
Capone, "Kata- kata manis dan
senjata akan mendatangkan lebih banyak hasil,
dibandingkan kata-kata manis."


Iblis itu meneguk teh dalam cangkir dengan satu
gerakan. Ia mengulurkan
cangkir itu ke tanganku, tapi menahannya saat
aku akan mengambilnya.

"Apakah kau masih membenci aku?"

Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang
tuntas untuk sang Iblis. Jadi aku
katakan saja, "Walaupun kita sama-sama mahluk
ALLAH, tapi kita berbeda.
Membencimu adalah dalam koridor tugasku
sebagai manusia dan penyembah ALLAH. It is
just business, nothing personal."

Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak
berbekas. Jam besar di dalam
kamarku berdentang. Aku membereskan cangkir
bekas sang Iblis, dan kembali ke
tempat tidurku. Tepat saat aku menarik buku yang
kubaca kepangkuanku, pintu
kamarku terbuka.

Suster Mary masuk sambil membawa nampan
peraknya. "Waktunya minum obat,
sir!" katanya sambil tersenyum dan menyodorkan
sebutir prozac ke bibirku.
(DBaonk)
* * * *

Glossary :
the thinker = patung terkenal karya Auguste Rodin
yang terinspirasi karya
besar Dante : Divine Comedy. Diletakkan di pintu
masuk Museum Decoratie Arts
di Paris, patung ini kabarnya menggambarkan
sosok Dante sendiri sebagai
seorang pemikir.

Sith = Tokoh antagonis rekaan dalam film George
Lucas Star Wars. Tokoh ini
pertama kali muncul dalam episode pertama Star
Wars (yang justru diciptakan
setelah trilogi episode IV, V & VI).

just business - nothing personal = ungkapan
dalam bahasa Inggris yang
menunjukkan tidak ada kepentingan pribadi
melainkan hanya pekerjaan semata.

enough = cukup.

prozac = obat yang biasa digunakan untuk
penderita schizofrenia (penderita
gangguan jiwa).

Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......