Senin, 31 Mei 2010

Journey To Sungai Bemban (part 2)

10.30 (dihari yang sama)

Tibalah waktu keberangkatan. terasa ada yang kurang siang itu. Namun, show must go on. Satria... tolong doakan kami agar perjalanan ini tanpa kendala.

Catat... Satria tak bisa ikut hari itu.

Siang lumayan terik,tak sedikitpun tanda-tanda akan turun hujan. mentari seakan ingin membuktikan betapa perkasanya ia, tak perlu berselimutkan awan untuk membakar kulit 6 anak manusia, kami.

Perjalanan aman tanpa kendala, hingga di satu persimpangan terlihat beberapa pria berseragam dengan peluit di tangan, sigap menghentikan kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Celaka... razia kawan.

Catat... Aku dan mereka takut razia, tak satupun dari kami yang memiliki SIM (surat izin mengemudi), ditambah kondisi kendaraan yang tak beratribut lengkap.

Jadilah, kami menjadi "mangsa empuk" polisi pemburu rupiah. Jalan ini tak seharusnya dijaga kawan, tak pernah dalam sejarahnya. Aku kasihan melihat para aparat itu yang seakan kehabisan uang, mencari tambahan dengan menggelar razia ilegal (dan aku tahu pasti itu ilegal). Tapi tetap seilegal apapun itu, kami harus merogoh rupiah untuk denda. Dan abdul, tak terlihat helm melekat di kepalanya, yang menambah kekhawatiran akan jumlah yang harus kami keluarkan nanti.

Catat... Ya Allah, ampunilah mereka atas apa yang mereka perbuat pada kami dan orang-orang yang senasib dengan kami.

Razia ilegal itu mungkin menjadi pengalaman pahit untuk kami (Aku, Abdul, Ilham, dan Dede), tapi tidak untuk Sandi dan Rendi. mereka hebat kawan, bak seekor elang yang awas, mereka sigap melihat gelagat tak benar para petugas di depan sana, dan mereka berhasil menghindar. SELAMAT!!!

Catat... Sandi memang rider yang hebat (kau akan tahu di kelanjutan kisahku nanti)

Bersambung...

Minggu, 30 Mei 2010

Journey To Sungai Bemban

Pontianak, 22 Mei 2010

Awalnya aku mengira tak kan berangkat bersama mereka pagi itu, tapi Allah berkata lain, dan.. jadilah.

09.00
Pagi yang sempurna, dengan cuaca yang sempurna pula. Hari ini sesuai yang telah dijadwalkan, kami akan berangkat menuju satu desa yang tak terlalu jauh dari kota Pontianak (kurang lebih 3 jam menggunakan sepeda motor), desa kediaman salah satu saudara kami, Abdul Rahmansyah.

Aku cemas, hingga hari yang ditentukan tak jua kudapati tumpangan kendaraan. Tak tega membawa curut (motor kesayangan ku), bukan karena aku pelit atau lainnya, tapi karena kondisi curut yang tak lagi prima. Oleng dibagian ban depan dan belakang membuat curut tak tahan dibawa ke daerah jauh, apalagi di medan yang berat. Dan aku… pasrah untuk tinggal, tak bersama mereka.

Senyum bahagia dan semangat membara kudapati di wajah-wajah mereka saat kami semua berkumpul di tempat yang ditentukan. Aku dan Abdul, ya, hanya kami berdua di situ. Harusnya seluruh personil berkumpul, 7 jumlah kami.

“Dimana yang lain dul” Tanyaku pada Abdul
“Tu dia bang, lom datang sepertinya”
“Ya udah, kita tunggu”

Sembari menunggu, ku nikmati segelas jus sawo kesukaanku. Ingin memastikan, ku kirim beberapa pesan singkat ke beberapa personil yang telat.

“Bentar bang, lagi nungguin Sandi” Balas sms di seberang.
“Cepetan, udah telat ni” Balasku.

Tak lama berselang, Dede pun datang. “Alhamdulillah” Ucapku. Satu personel tiba.

10.00
Semua telah berkumpul, Ilham, Sandi, Rendi, Dede. Abdul, dan Aku.
Tapi tunggu, Satria tak ada di situ. Kembali satu pesan singkat kukirimkan ke nomor Satria. Sembari menunggu balasan, tibalah menjelaskan satu hal yang tak ingin ku ucapkan…

“Sebelumnya abang minta maaf, sebenarnya hari ini abang tak bisa ikut dengan kalian” Tak ada kendaraan alasanku, dan memang itulah penyebabnya.
Suasana hening, tak bersuara. Yang kudapati wajah-wajah yang tak lagi bersemangat,dan aku merasa bersalah.
“Tak asik kalau abang tak ikut” Ilham memecah kesunyian.
“Iya bang” Sahut yang lain.
“Tapi kendaraan tak cukup dek” Ku coba menjelaskan

Lama menunggu balasan, ku pencet nomor Satria, dan terdengar suara di seberang sana. Perbincangan tersebut mengarah pada satu kesimpulan bahwa Satria tak bisa ikut bersama kami, alasan yang memang mengharuskannya untuk tinggal (terkait baktinya terhadap orang tua).

Ku lirik wajah mereka yang duduk di depanku. Hei.. ada apa ini? Mereka tersenyum. Firasatku tak nyaman untuk hal ini.

“Ya udah bang, Satria kan tak bisa ikut, abang aja yang ikut, kan pas tu” Ilham memperjelas kecurigaanku.
“Tapi……”
“iya bang, tak asik kalo abang tak ikut” Sambung rendi.

Dan jadilah aku, bersama mereka siap menuju Sungai Bemban. Dan Satria, maaf bukannya mengambil kesempatan dalam kesempitan, tapi ini keputusan bersama, dengan niat mengoptimalkan fasilitas yang ada. (maaf dek, semua salah abang ^_^).

Bersambung

Sabtu, 29 Mei 2010

Saat Resah Bertandang

Sahabat...
Tak salah jika kita merasa bingung saat resah datang. Kita seakan tak tahu harus berbuat apa, yang ada hanya terpaku, waktu terbuang percuma tanpa hal yang bermakna.
Tak salah sahabat, karena resah memang kerap menyerang.

Namun sahabat...
Semua itu akan menjadi salah saat kau membiarkan dirimu terus dalam "kangkangan" resah. Semua kan menjadi salah saat kau pasrah dalam "pelukan" resah.

Lalu apa yang harus kita lakukan?
Sudahkah kau datang kepada Tuhan?
Sudahkah kau mengadukan semua kepada Sang Pemilik dan Penyelesai Masalah?
Jika jawabanmu belum? maka jangan heran jika resah itu masih bercokol.

Resah itu pada dasarnya datang dari syaitan kawan, maka usir ia dan minta perlindungan darinya kepada Sang Pelindung, Allah SWT.

Adukan resahmu kepada-Nya. Biarkan hatimu mencurahkan segala rasa resah itu pada-Nya. Jangan ada yang kau tutupi, ungkapkan semuanya (karena itu percuma, Ia tahu segala yang tertutup). Biarkan air matamu jatuh, jangan kau tahan, karena Ia senang melihatmu menangis saat kau mengadukan semua pada-Nya.

Jika resah itu datang dan malam masih panjang untuk ditunggu, sirami wajah dan tubuhmu dengan wudhu sahabat.
Angkat kedua tanganmu dan kumandangkan takbir "Allahuakbar" seraya menghadapkan wajahmu pada-Nya. Biarkan dirimu asik berkomunikasi dengan-Nya. Tak harus menunggu malam sahabat, kapan saja kau dapat menghadap-Nya.

Kau pun dapat menggunakan satu jurus ampuh lain untuk mengusir resah, kau mau tahu sahabat?

Biarkan matamu asik memandang keindahan firman-Nya.
Biarkan mulutmu asik melafadzkan kata-kata Maha Dahsyat dalam Kitab-Nya.
Dan sobat, semakin hanyut kau membacanya, semakin jauh resah yang tadinya kau rasakan, dan sedikit demi sedikit resah itu akan hilang, lenyap tak tersisa...




Minggu, 16 Mei 2010

Boneka Untuk Shella

Mila membuka pintu kamarnya. Satu wajah polos dan teduh ia dapati, terlelap dengan dekapan guling yang ukurannya lebih besar dari tubuh mungil itu. Dengan sisa tenaga malam itu, ia menghampiri tubuh bocah 4 tahun tersebut dan mendaratkan ciuman damai di pipi dan kening si bocah.

"Selamat tidur malaikatku" bisiknya, dan berlalu.

Hari-hari yang dilalui Mila sungguh teramat berat untuk gadis seusianya. Di saat gadis 20 tahun lainnya menikmati masa remaja mereka dengan merengguh manisnya bangku kuliah, Mila harus menaklukkan kejamnya hidup degan butiran keringat sebagai kuli angkut di pasar. Lima tahun sudah ia menjadi keluarga dari bau dan lumpur di pasar pagi, sejak keluarga aslinya (ayah dan ibu) meninggal dalam kebakaran 6 tahun lalu.

Kecelakaan itu menorehkan perih yang tak terlupakan, kehilangan orang tua yang menjadi tempat bergantung baginya, perih itupun tergambar buram di pipi kiri Mila, menjelma menjadi luka bakar akibat kebakaran itu. Namun, musibah itupun meninggalkan amanah yang menjadi alasan Mila tetap bertahan, mengisi hari-hari buram sang gadis dengan senyum dan harapan, adik kandungnya Shella.

"Shella ingin boneka kak." Rengek Shella suatu pagi sebelum Mila berangkat kerja.
"Ia, tapi kakak belum punya uang, nanti saja jika kakak dapat uang lebih ya?" Jawab Mila.
"Tapi Shella belum pernah punya boneka, Shella pengen punya satu saja." Tangis si bocah.

Rengekkan bocah kecil itu begitu menyayat, sudah sejak lama Shella menginginkan boneka. Kondisi ekonomi yang tak mendukung membuat Mila harus mencari 1001 alasan untuk si kecil Shella. Tapi kali ini, Mila tak tega, ia tak kuat melihat cahaya hidupnya muram dan bersedih.

"Baiklah, besok kakak belikan ya" bujuk Mila.
"Benar kak?"
"Iya... sekarang Shella makan ya, setelah itu mandi"
"Iya kak." Shella tersenyum memperlihatkan 2 gigi depannya yang bolong.

Hari itu Mila kerja ekstra keras. Tak hanya mengangkut barang-barang, hari itu ia pun menerima tawaran untuk bersih-bersih di pasar, dengan satu tujuan membelikan boneka untuk Shella.

Malam itu purnama. Penat dan lelah yang dirasakan Mila kali ini tak seperti biasa. Seluruh sendi-sendi tulang serasa terlepas dari engselnya, menyisakan tubuh yang lunglai karena bekerja terlalu keras. Namun, lelah itu seakan sirna saat ia melihat wajah polos itu, yang tertidur pulas, menyisakan kedamaian di hati Mila. Senyum di Bibir Mila semakin melebar saat ia memejamkan mata dan membayangkan tawa riang Shella yang memeluk boneka impiannya.

"Ya, boneka itu untuk Shella" gumam Mila sambil tersenyum melihat uang di saku bajunya.

Matahari hampir menampakkan wajahnya. Mila bergegas takut terlambat.
"Kak Mila jangan lupa ya bonekanya" teriak Shella dari balik pintu.
"Ia sayang" jawab Mila dan bergegas menuju pasar pagi di seberang jalan.

Rumah kecil yang mereka tempati berada di daerah kumuh tak jauh dari rel kereta api. Suara bising kereta menjadi irama pengantar tidur setiap malam untuk Mila dan Shella di kontrakan mungil mereka.

Siang itu Mila pulang jauh lebih awal. Ia sengaja pulang awal untuk memberikan kejutan buat Shella, sebuah boneka beruang yang lucu. Langkah cepat dan panjang Mila tempuh, dengan seulas senyum dan boneka beruang merah muda di dekap di dada.

Siang itu tak seperti biasa. Kontrakkan mungil itu dipenuhi tetangga di sekitar tempat tinggal mereka. Mila setengah berlari menuju istana mungil mereka, ia dan Shella.

"Mila, syukurla kau datang, tadi kami mencarimu di pasar tapi kau tidak...."
"Ada apa bu? mana Shella?" tanya Mila memotong perkataan si wanita.
"Shella anu... dia... " si wanita terbata-bata.
"Shella..." Mila masuk ke dlam melewati kerumunan tetangga yang memenuhi rumah mungil itu.

Mila terjatuh di lantai, boneka beruang merah muda itupun terlepas dari pelukannya, menggelinding menghampiri tubuh mungil yang terbaring pucat di lantai.

"Shella, bangun sayang. Ini kakak bawakan boneka yang Shella inginkan. Cantik bukan? Bangun sayang."
Mila mengguncang tubuh mungil itu, mencium dan memeluk, dengan tangis yang tak henti mengalir.

Sore itu sebuah stasiun televisi menayangkan berita mengenai kecelakaan maut, sebuah kereta yang menabrak gadis kecil di sebuah daerah pemukiman kumuh...

Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......