Pontianak, 22 Mei 2010
Awalnya aku mengira tak kan berangkat bersama mereka pagi itu, tapi Allah berkata lain, dan.. jadilah.
09.00
Pagi yang sempurna, dengan cuaca yang sempurna pula. Hari ini sesuai yang telah dijadwalkan, kami akan berangkat menuju satu desa yang tak terlalu jauh dari kota Pontianak (kurang lebih 3 jam menggunakan sepeda motor), desa kediaman salah satu saudara kami, Abdul Rahmansyah.
Aku cemas, hingga hari yang ditentukan tak jua kudapati tumpangan kendaraan. Tak tega membawa curut (motor kesayangan ku), bukan karena aku pelit atau lainnya, tapi karena kondisi curut yang tak lagi prima. Oleng dibagian ban depan dan belakang membuat curut tak tahan dibawa ke daerah jauh, apalagi di medan yang berat. Dan aku… pasrah untuk tinggal, tak bersama mereka.
Senyum bahagia dan semangat membara kudapati di wajah-wajah mereka saat kami semua berkumpul di tempat yang ditentukan. Aku dan Abdul, ya, hanya kami berdua di situ. Harusnya seluruh personil berkumpul, 7 jumlah kami.
“Dimana yang lain dul” Tanyaku pada Abdul
“Tu dia bang, lom datang sepertinya”
“Ya udah, kita tunggu”
Sembari menunggu, ku nikmati segelas jus sawo kesukaanku. Ingin memastikan, ku kirim beberapa pesan singkat ke beberapa personil yang telat.
“Bentar bang, lagi nungguin Sandi” Balas sms di seberang.
“Cepetan, udah telat ni” Balasku.
Tak lama berselang, Dede pun datang. “Alhamdulillah” Ucapku. Satu personel tiba.
10.00
Semua telah berkumpul, Ilham, Sandi, Rendi, Dede. Abdul, dan Aku.
Tapi tunggu, Satria tak ada di situ. Kembali satu pesan singkat kukirimkan ke nomor Satria. Sembari menunggu balasan, tibalah menjelaskan satu hal yang tak ingin ku ucapkan…
“Sebelumnya abang minta maaf, sebenarnya hari ini abang tak bisa ikut dengan kalian” Tak ada kendaraan alasanku, dan memang itulah penyebabnya.
Suasana hening, tak bersuara. Yang kudapati wajah-wajah yang tak lagi bersemangat,dan aku merasa bersalah.
“Tak asik kalau abang tak ikut” Ilham memecah kesunyian.
“Iya bang” Sahut yang lain.
“Tapi kendaraan tak cukup dek” Ku coba menjelaskan
Lama menunggu balasan, ku pencet nomor Satria, dan terdengar suara di seberang sana. Perbincangan tersebut mengarah pada satu kesimpulan bahwa Satria tak bisa ikut bersama kami, alasan yang memang mengharuskannya untuk tinggal (terkait baktinya terhadap orang tua).
Ku lirik wajah mereka yang duduk di depanku. Hei.. ada apa ini? Mereka tersenyum. Firasatku tak nyaman untuk hal ini.
“Ya udah bang, Satria kan tak bisa ikut, abang aja yang ikut, kan pas tu” Ilham memperjelas kecurigaanku.
“Tapi……”
“iya bang, tak asik kalo abang tak ikut” Sambung rendi.
Dan jadilah aku, bersama mereka siap menuju Sungai Bemban. Dan Satria, maaf bukannya mengambil kesempatan dalam kesempitan, tapi ini keputusan bersama, dengan niat mengoptimalkan fasilitas yang ada. (maaf dek, semua salah abang ^_^).
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar