Selasa, 27 April 2010

Epilog

Setan mungkin sedang mentertawakan ku saat ini, sekeras dan lebar yang dapat ia tunjukkan.

Terjatuh itu biasa, namun bila jatuh dalam lubang yang sama untuk ke dua kalinya, kurasa bukan hal yang biasa. Ah setan....kau menang.

Aku benci mengakuinya, namun itulah kenyataan. Suatu kenyataan yang membuat aku menjadi satu diantara mereka yang membiarkan dirinya menjadi makanan empuk setan, yang jelas tak ada kebaikan sedikitpun di dalamnya. Sanggupkah aku menatap dunia dan menghadapkan wajahku pada-Nya? Entah...

Mencari tempat untukku mengubur semua, namun tak mungkin. Semua telah tercatat rapi di buku harian malaikat-Nya, dan celakanya, aku tercatat dalam buku catatan dosa. Aku tak mungkin memutar waktu dan memperbaiki yang telah rusak, atau merobek buku catatan yang bentuknya pun tak pernah ku lihat. Lagi-lagi, setan... kau menang.

Hati ini telah berkata "Jangan", tak puas dengan berkata ia bahkan berteriak. Namun aku seakan menutup telinga, ku biarkan hati bagai si bisu yang tak bersuara. Ia coba ingatkanku dengan bujukan yang halus, aku tak merespon. Ia ingatkan aku dengan balasan-Nya atas keingkaranku, aku tetap berpacu dengan dosaku. Wahai hati... maafkan aku.

Aku semakin terpuruk, setan menjadikan ku sebagai kesayangan mereka. Apa yang ku inginkan mereka penuhi, segala yang menghalangi mereka singkirkan. Aku tak lagi mendengarkan bisikan nurani yang semakin hari suaranya semakin mengecil, memelas dan tertutup tawa kemenangan setan.

Samar-samar ku dengar suara berbisik, "bangun....bangun.... kau telah lama terlena".

Aku menoleh, tak ada siapapun. Aku keluar kamar, sepi. Ku lanjutkan kembali hariku yang penuh kesia-siaan.

Suara itu datang lagi, kali ini semakin memelas "Ku mohon bangun, kau telah lama tertidur, aku yakin kau mampu, ayo bangun".

Aku kembali tersadar, mencari sumber suara namun tak ku temukan. Suara kecil itu memanggil-manggil namaku. Tak jarang suara itu menangis dan hilang saat aku mengabaikan panggilanya dan menjumpai teman karibku, setan.

Malam ini, aku mendengar suara itu. Kali ini suaranya begitu jelas, seakan berbisik di telingaku. Suara itu kembali mengajak agar aku menghadapkan wajahku pada-Nya. Namun, aku ragu dan berkata "Aku malu, aku telah lama mengabaikan panggilan-Nya, apa Ia masih mau menerimaku?"
Suara itu berkata "Ia pasti mau, Ia selalu menerima hamba-Nya yang ingin kembali, sejauh apapun sang hamba tersesat"
"Bagaimana dengan teman-temanku, mereka tak ingin aku menjumpai-Nya"
"Mereka setan yang terkutuk, akan selalu menjauhkanmu dati Tuhanmu"
"tapi mereka teman yang baik, selalu bersama dan memenuhi keinginanku"
"Benar, namun juga membawamu semakin jauh dari Tuhanmu".

Aku terbangun, sepi tak ada siapapun. Suara itu hilang, berganti dengan suara binatang malam dan hembusan angin. Suara itu masih terngiang di kepalaku seakan melekat kuat. Ku lihat cahaya di HP, satu pesan masuk. "Bangun saudaraku, kita telah lama tertidur. Saatnya menghadap Sang Pemilik Waktu, untuk mengadu dan memohon ampun". Aku tertegun, tak ada nama pengirim, yang ada hanya aku, menangis diantara tawa teman-temanku, setan...


Kamis, 15 April 2010

Pereda murka Tuhan

kawan, apa kau pernah melihat para penjual nasi di warung-warung kecilpinggir jalan? Mereka menjual nasi lengkap dengan lauk pauknya. Tak jauh berbeda dengan rumah makan besar, merekapun menawarkan aneka lauk pauk, lengkap dengan sambal dan lalapannya. Namun, kau akan menemukan satu fakta, bahwa harga yang mereka patok jauh lebih murah dan dengan porsi yang lebih banyak pula.

Kawan, pernakah kau bertanya apa mereka tidak rugi menjual nasi lengkap dengan harga yang murah? Kenyataannya harga barang sekarang merangkak naik, dan hampir mustahil kau masih dapat menikmati makanan super jumbo dengan harga miring. Atau kau mungkin heran mengapa mereka bisa bertahan dengan usaha yang sama dari tahun ke tahun, tanpa ingin beralih ke usaha lain.

Kau akan mendapatkan kenyataan yang menghentakkan. Para penjual itu tak ingin meraup untung sebesar-besarnya seperti para pengusaha yang tak pernah melihat ke bawah, ke nasib orang-orang yang tak seberuntung mereka. Para pedagang itu hanya ingin mendapatkan sedikit rezeki untuk makan sehari-hari. Sudah bisa makan sehari-hari saja mereka senang, tak perlu mewah, asal makan.

Merekapun tak perlu barang-barang tersier yang megah, sekedar untuk membeli sabun buat keperluan mandi dan menyuci, mereka sudah senang. Tak pernah mereka menginginkan rumah mewah, pakaian indah, atau kendaraan megah yang menghiasi kehidupan mereka, cukup dengan terpenuhinya kebutuhan harian, tanpa harus meminta apalagi bergantung pada orang lain.

Dan kawan, satu alasan yang membuatku tertegun (atau mungkin kau), mengapa mereka tetap bertahan. Dengan senyum tulus mereka akan berkata "Siapa yang akan menyediakan makanan bagi mereka, para kuli dan buruh bangunan yang menjadi pelanggan tetap kami? Mereka tak akan sanggup membeli makanan dengan harga tinggi yang mencekik, sedangkan kebutuhan hidup sendiri sudah cukup mencekik. Asal dapat sedikit keuntungan untuk bertahan hidup, bagi kami tak mengapa".

Kawan, mari kita belajar dari mereka yang mensyukuri hidup. Mereka melihat segala sesuatunya bukan dari sudut pandang materi belaka. Mereka yang diantara kesulitan hidupnya,masih memikirkan kebahagiaan orang lain. Kehidupan mereka mungkin tak lebih baik dari para kuli itu, namun keindahan akhlak mereka jauh lebih baik dari kebanyakan kita.

Kawan, mereka adalah alasan Malaikat Rahmat masih membagikan rezekinya bagi bumi kita. Mereka adalah beludru halus yang saat menyentuhnya akan kau rasakan kelembutan luar biasa. Dan, mereka adalah tiang penyanggah langit, yang tetap menopang kokoh, pereda segala murka dan angkara Tuhan.

Selasa, 13 April 2010

Perahu Ukhuwah

Aku mulai memutar otak,mengingat kembali kapan Allah mempertemukan kami. Baru satu bulan kami saling mengenal (tolong ingatkan aku jika salah), waktu yang ternyata teramat singkat untuk dapat saling memahami dan mengerti, tapi tidak untukku (atau mungkin mereka). Satu bulan yang lalu aku tak tahu untuk apa, namun kini aku mengerti dan mensyukurinya.

Awalnya ku pikir ini akan berat, menghadirkan diriku di tengah-tengah mereka, seperti kau memasuki suatu pemukiman dan kau adalah pusat perhatiannya. Mata mereka tertuju padaku, menghujam tepat diantara paru-paru seakan menghentikan gerakannya memompa udara ke seluruh aliran tubuh. Mata-mata itu penuh tanya, "Siapa kau?" dan yang paling membuatku khawatir, mata itu seakan berteriak lantang "Apa yang dapat kau berikan pada kami", satu tatapan dari mata-mata penuh selidik dan haus, dan aku tak bisa menjawab, apalagi berjanji.

Kini, semua kecemasan itu hilang, berganti dengan satu rasa yang menyenangkan, persaudaraan. Rasa dimana segala sekat seakan terangkat dan hilang dari pandangan. Satu rasa dimana kelemahan terkalahkan oleh kebersamaan yang menyatukan hati serta tujuan. Dan, satu rasa dimana ketakutan berubah menjadi keberanian untuk menatap dunia dan berteriak lantang "Kami siap". Satu rasa yang sungguh aku syukuri.

Saat-saat bersama mereka menjadi saat-saat yang membahagiakan. Berbagi tawa bersama saat segala tingkah mengundang kocak. Berbagi sedih ketika luka menghampiri walau hanya salah satu dari kami. Kami pun berbagi ide dan solusi saat pelik bertandang, mengeluarkan pemikiran bersama.

Tak ada waktu yang terbuang saat bersama mereka, semua dilalui dalam naungan kemanfaatan. Hal sepele yang kami lakukanpun menorehkan manfaat. menyusun agenda-agenda bersama tanpa ada batasan tua dan muda. Satu pertalian yang mulia, di dasarkan pada pilar yang mulia pula, tonggak ukhuwah.

Memandang mereka membawaku kembali ke masa-masa itu, masa dimana diri dipupuk untuk menggali potensi, memberikan yang terbaik dalam tiap karya, dan berpikir jernih sebelum bertindak. Masa saat pertama aku mengecap manisnya persaudaraan dalam balutan keimanan, yang kini menjejalkan sayang dan rindu yang membuncah. Mereka seolah cermin, berdiri tegak di depanku, menyapa dan (terkadang) mengkritik.

Dalam kebulatan tekat aku berjanji, kan ku kayuh perahu ukhuwah ini ke muara nan damai, sejuk dan menentramkan. Muara dimana orang-orang saling berkasih sayang membangun rumah-rumah ukhuwah mereka. Muara dimana mereka yang saling merindukan bertemu dan saling merangkul penuh kehangatan. Muara dimana kedekatan hati seakan menjadi satu dan saling mengisi...




Untuk saudara-saudaraku : Rendi, Satria, Ilham, Sandi, Abdul, Dedek, yang bersama mereka perahu ini akan ku kayuh ke muara itu...


Jumat, 09 April 2010

Ia yang kurindukan

Ada masanya dimana kita akan menemukan titik terjenuh dalam hidup. Jenuh terhadap segala rutinitas, jenuh terhadap segala hal yang di hadapi. Termasuk kesendirian, dan ku rasa titik itu ada padaku kini.

Jujur, aku iri terhadap mereka yang melalui hari dengan senyuman, menatap hari mereka dengan segala kesiapan dan kematangan. Mereka seakan tak pernah takut dan gentar. selalu siap. Bukan karena mereka kuat kawan, tapi mereka memiliki seseorang yang setia menemani, yang selalu berbagi dan menjadi teman dalam mengarungi segalanya, seorang istri.

Teringat seorang kawan, yang menemukan kebahagiaannya setelah menikah. Allah memberikan kemudahan padanya, hal yang tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya. Sungguh indah...

Rasa ini datang bukan karena ingin menagih janji Allah, hanya ingin menyempurnakan iman, dan menjadi salah seorang yang diakui Rasulullah kelak sebagai pengikutnya, dengan menjalankan sunahnya. Walau tanpa bisa di pungkiri, aku pun ingin berbagi rasa sayang ini, rasa sayang yang telah ku persiapkan untuknya (siapapun ia), dengan bersama mengarungi mahligai kehidupan dalam naungan kasih sayang yang Allah titipkan.

Aku sadar, aku bukan sosok yang menawan, dan jauh dari kesempurnaan, tapi apakah aku salah saat di tiap doa kupanjatkan permohonan untuk mendapatkan pendamping yang terbaik? Seorang pendamping yang menenangkan walau hanya dengan melihatnya. Pendamping yang meneduhkan saat bara panas emosi menerpa. Seorang pendamping yang bersamanya ku labuhkan rasa sayang dan janji ku untuk selalu menjaga dan membahagiakannya.

Belajar dari Sayyidina Ali dan Fatimah (putri Rasulullah), sebuah penikahan yang telah diatur oleh Allah, bahkan sebelum Ali melamar Fatimah. Allah telah menikahkan mereka di syurga, sebelum Rasulullah menikahkan mereka di dunia. Sebuah pernikahan yang melahirkan manusia-manusia luar biasa, pewaris para nabi, manusia-manusia kesayangan Allah. Dan aku memimpikannya.

Memanggilnya dengan ucapan yang lembut, tatapan yang menyejukkan, serta prilaku yang membuatnya tersenyum telah ku persiapkan. Bahasa cinta dalam tiap tindak, akan ku berikan untuknya.

Karenanya, dalam iman yang tak seberapa ini, ku panjatkan doa pada-Mu Wahai Sang Pengabul Do'a, berikan kemudahan pada hamba mewujudkan segala impian, membentuk sebuah keluarga yang di dalamnya sentiasa mengegungkan Nama-Mu...

Minggu, 04 April 2010

Ia dan hujan

Hujan kawan, lama ia tak melihat hujan.

Butir demi butir air jatuh menyirami bumi, dan ia tertegun. Bias cahaya merah, kuning, hijau menghias langit diantara butir hujan yang terus bergulir. Benar, ini hujan.

Hampir dua tahun ia tak melihat langit, terkungkung di kegelapan (walau tak secara nyata). Dinding kamar dan segala perabotnya menjadi kawan setia menghabiskan hari-hari kelamnya. Isirahat panjang benar-benar membuatnya lelah, berbanding terbalik dengan hukum alam, dimana istirahat bertujuan menghilangkan lelah. Terlalu lama ia istirahat, melupakan dunia luar yang dulu menjadi bagian kehidupan, yang rasanya tak mampu melewati hari tanpa menyapanya.

Ia tak mampu menutupi rasa bahagia, bahagia akan realita bahwa ia dapat kembali menyapa teman lama, dunia luar. masih segar di ingatan saat ia berlari ketika hujan turun, sekedar mencari perlindungan dari basah dan dingin. Ia terus berlari dan bersembunyi dari hujan, selalu. Kini, seperti segunung rindu membuncah saat butir-butir air jatuh, pecah menghempas kepala, tangan, dan wajahnya. Entah kapan ia memulai, tapi ia telah asik bercengkrama dengan hujan, hal yang ia takuti dahulu.

Ia hanya ingin menikmati kebebasan, tanpa harus terkurung diantara dinding dan tembok yang seakan mengolok kelemahannya. Ia hanya ingin kembali mengenang masa dimana tak ada penghalang antara ia dan dunia.

Kenyataannya, penghalang itu ada, di depan mata pula. Dua tahun ia berada di kangkangan penghalang terkutuk, memisahkannya dari sahabat, kerabat, dan dunia. Penghalang itu merenggut masa indah yang ditaburi keceriaan dan riang tawa. Sebuah penghalang yang menghempaskan dunianya ke lapisan terbawah, rasa putus asa. Penghalang itu mengalir di tiap urat, menaburkan duri yang menancap. Penghalang yang menjelma menjadi satu momok yang menakutkan, Leukemia.

Wajahnya tak lagi merona, pucat seperti mayat. Gerakannya tak lagi lincah, kaku seperti manula. Senyumnya tak lagi menghias bibir, menyisakan rintihan pilu.

Di sisa umur yang tak seberapa ini, ia hanya ingin mengenang masa-masa dulu, kebebasan dan dunia luar. Ia pun ingin membuktikan bahwa ia tak takut lagi akan hujan.

Ia terjatuh, di antara tangisan langit, yang menjelma menjadi butiran indah nan menyejukkan, hujan.

Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......