Rabu, 31 Maret 2010

Satria Terakhir (part 2)

Pemuda itu bernama Braganjaya, panglima perang pasukan Kuntala. Terlahir bersama saudara kembarnya yang hanya dipisahkan oleh menit, Bragantara. Semua perang telah ia lalui, tak pernah kalah, kecuali yang satu ini. Perang yang memaksa dua bersaudara yang dikenal sebagai singa perang, kehilangan taringnya. Perang yang merenggut nyawa seluruh pasukan kuntala, kecuali kedua kakak beradik itu.

Braganjaya masih merasakan ngilu di sekujur luka akibat panah pasukan lawan. Panah yang hampir merenggut nyawa sang panglima, panah yang mencoreng wajah perkasa sang singa perang.

Dua hari sudah mereka di dalam gua, bersembunyi dari pasukan musuh. Beragam strategi telah disiapkan, demi membalas kekalahan, dan yang terpenting menuntut keadilan atas kematian pasukan mereka.

"Mereka memiliki pasukan yang terlatih, kuat dan cekatan, peluang kita untuk menang kecil" Bragantara berucap.
"Kita jelas kalah jika berhadapan secara langsung, menyerang secara diam-diam pilihan tepat saat ini" terang Braganjaya.
"Maksud mu kita bunuh satu persatu pasukan mereka?"
"tepat....!".
"Bagaimana dengan lukamu?"

Braganjaya terdiam. Ia ingin memaki atas hadiah yang diberikan pasukan musuh. Hampir mustahil untuknya bertempur dengan luka sebanyak itu.

"Kita tunggu hingga lukamu mengering kakakku"
"Tapi waktu kita tak banyak"
"Pergi dalam keadan seperti ini sama saja mengantar nyawa"
"Tapi...."
"Tidur la kak, kau butuh itu"

Braganjaya hanya bisa menuruti perintah sang adik, lagi pula, ia memang lelah. Ia hanya berharap luka ini cepat sembuh, paling tidak mengering, agar ia dapat segera bertempur.

Bersambung...





Senin, 29 Maret 2010

Satria Terakhir (part 1)

Panah-panah itu menancap tubuh si pemuda. Darah segar mengalir bak mata air sungai. Di kiri, kanan, tergelatak tubuh-tubuh berwarna merah, bermandikan darah, dengan pembalut tubuh yang sama persis seperti yang di pakai sang pemuda. Bau amis darah mengenyahkan aroma segar bunga di atas perbukitan tersebut.

Si pemuda memandang nanar. Urat-urat di leher terlihat jelas, di iringi erangan geram. Badan kokoh, besar, tinggi, serta tanda khusus di lengan kanan, menandakan si pemuda mempunyai jabatan yang layak di perhitungkan. Dengan tubuh lunglai, ia berusaha berjalan dan menyusuri tiap tubuh yang terdiam, kaku.

"Bragantara" teriak si pemuda dengan sisa tenaga yang ia punya. Suaranya menggema di seluruh bukit. Ia teruk mencari, diantara tubuh-tubuh kaku dan dingin. Lelah mencari ia tersungkur. Tangis si pemuda terdengar jelas menyayat, mengalahkan perih luka di sekujur tubuhnya. Tak lama, tangis itu berhenti seiring sang pemuda terbawa ke dunia mimpi dan tak sadarkan diri.

Ia terbangun, ditanah yang lembab, dengan sedikit cahaya. Suara air bergema mendominasi seluruh wilayah yang asing bagi si pemuda. Suara langkah kaki menyadarkannya.
"Kau tidur lama sekali" sebuah suara mengendorkan urat-uratnya yang sedari tadi tegang, waspada.
"Bragantara, kau...."
"ya, aku berhasil kabur dan bersembunyi disini. Bagaimana keadaan mu kakakku?"

Bersambung....


Pria Pelari

Ia terus berlari, tak perduli beribu pasang mata memperhatikannya, ia terus berlari. Saat letih, ia rehat sejenak,kemudian berlari lagi. Kadang aku bertanya, apa tak ada hal lain yang dapat ia lakukan selain berlari?

Tak tahu dari mana ia berasal, namun sejak aku kecil, aku telah sering melihatnya. Dibarat, selatan, utara, ia selalu ada, masih dengan berlari.

Tanpa mengenakan baju yang melindungi kulit hitam mengkilat itu, ia terus berlari. Tanpa menggunakan sepatu yang melindungi kaki yang juga hitam itu, ia masih terus berlari.

Jika kau bandingkan dengan peraih piala emas di Olympiade, ku rasa ia lebih tangguh. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk berlari. Siang, malam, hingga pagi menjemput, ia terus berlari. Entah apa yang ingin ia kejar. Hidupnya seakan tertuju pada satu hal, berlari.

Dimana ia tidur? Kapan ia mandi? Apakah ia mempunyai keluarga? Pertanyaan itu acap kali muncul di benakku. Pernah suatu hari ku coba mengikutinya, tapi aku tak mampu kawan.

Lama aku tak melihatnya, seluruh ruas jalan yang kulalui. tak lagi pernah ku lihat ia. Kucoba bertanya pada pengguna jalan sekitar, tak satupun yang tahu. Iseng, aku bahkan pergi ke kantor polisi mencari informasi tentang pria pelari, dan yang kudapat tawa menggelegar si petugas. Kenapa aku ini? Apakah aku rindu padanya? Siapa yang gila, aku atau dia?

Minggu, 28 Maret 2010

Duniaku dulu, kini dan nanti

Sejenak aku terlena oleh polah tingkah mereka. Tertawa, berlari, tak perduli mahluk di sekitar. Yang ada hanya keceriaan yang mendatangkan rasa iri di diri. Sungguh, aku iri.

Jika ku kenang masa-masa kecil dulu, maka akan ku dapati sebuah masa yang tak begitu berbeda dengan mereka. Tawa yang sama, kegembiraan yang sama, bahkan kepolosan yang sama. Masa dimana aku tak harus memutar otak memikirkan berbagai kebutuhan hidup, masa dimana tak ada yang memarahi ku saat membuat kesalahan. Aku rindu masa itu.

Terbangun dari khayal, aku kembali ke dunia realita. Dunia dimana tak ada tangis kecilku, tawa riangku, ataupun tanya polosku. Kadang aku berandai, aku kembali ke masa itu. Bisakah?

Aku, kini terjebak di sebuah dunia yang ku sebut "kedewasaan". Sebuah dunia yang menjauhkanku dari segala keringanan yang acap kali ku terima di masa kecilku. Keringanan dari hukuman, keringanan dari perhitungan dosa, keringanan dari terkabulnya segala keinginan, semuanya kini hilang. Kedewasaan ini memaksaku untuk berpikir sebelum bertindak, mencerna sebelum berkata, karena tak ada lagi jaminan untukku untuk sebuah keringanan.

Mungkin kini masaku terjebak di dunia ini. Aku yakin, suatu saat mereka pun akan terjebak di sini. Dan, ini membuka mataku.

Kedewasaan bukanlah musuh, karena kau takkan mampu mengalahkannya. Yang dapat kau lakukan hanyalah menjalaninya, dan berusaha melewatinya. Aku sadar, suatu saat dunia kedewasaan ini akan hilang dan berganti dengan dunia yang lain. Aku tak ingin tak siap dengan dunia baruku nanti, aku ingin menyambutnya dengan tawa, seperti aku menikmati dunia kanak-kanakku.

lalu, bagaimana dengan dunia dewasa ini? Aku berjanji padamu, pada kalian, dan pada diriku sendiri, aku akan menaklukkannya dengan karya terbaikku, untuk menyambut dunia baruku nanti.


Jumat, 26 Maret 2010

Kejutan Ibu

Usia renta tak menyurutkan semangatnya untuk memberikan yang terbaik untuk kami. Diantara keterbatasan, ia tetap melakukan yang terbaik, hanya untuk kami. Ah... ibu, aku sayang engkau, sungguh.

Ibu ku tak lagi muda, 60 sudah usianya. sekilas kau akan melihatnya seperti wanita 40 atau 50 tahunan (awet muda aku bilang ibu). Namun tak demikian dengan kondisi fisik (tentunya selain wajah). Diabetes merenggut kelincahan ibu, dan aku benci.

Kaki ibu sudah tak indah lagi ku lihat. beberapa luka yang membekas kasar membuatnya sulit berjalan sempurna. Tak puas dengan kaki ibuku, penyakit itu menyerang mata ibu. Pandangannya kini tak lagi jelas, "Kabur" katanya.

Namun satu hal yang membuat ku kagum pada wanita tua itu, semangatnya tak ikut terenggut. Ia tetap melakukan pekerjaan seperti sedia kala.

Aku kejam, pasti demikian fikir kalian. Ibuku keras kepala kawan. Tak terhitung berapa kali kami memintanya istirahat, namun beliau tetap menolak. Semangat dan kebiasaan masa muda, memang berpengaruh dimasa tuamu, setidaknya itulah yang terjadi pada ibuku.

Pernah suatu hari, aku mendapati Ibu memasak masakan kesukaanku. Betapa senang aku. Dengan semangat, ku lahap masakan ibu. Asin kawan, sungguh asin. Masakkan itu harusnya manis. Saat ku tanya (tanpa menyinggung ibu) ia bilang "Ibu kira gula". dan aku hanya tersenyum. Ah, Ibu, aku semakin mencintai mu.

Di lain hari, saat aku hendak mengambil sayur di lemari, kudapati kuah sayur berwarna coklat (yang seharusnya bening). Di bawah sayur, ku lihat teh celup tergeletak indah. Lagi-lagi, aku tersenyum...



Rabu, 24 Maret 2010

Tempat itu, dunia

Kawan...
Masihkah kau ingat waktu pertama kali kau melihat dunia? Kau, aku dan kita semua menangis (mungkin kita lupa). Kita harus meninggalkan tempat teraman, ternyaman, dan terhangat yang pernah kita tinggali. Tempat dimana kita tak perlu lari dari hujan dan dingin. Tempat dimana segala kebutuhan kita terpenuhi. Kita bagaikan raja yang apapun tihta kita, pasti terkabulkan. Sebuah tempat mulia, dari seorang wanita mulia, rahim ibu.

Kawan...
Kita menangis saat dipaksa meninggalkan kemewahan itu. Kita menangis saat mata kita di paksa melihat cahaya yang teramat menyilaukan (cahaya di rahim ibu, sungguh telah di desain secara sempurna). Dan yang membuat tangisan kita lebih keras, saat kita dipaksa berada di tempat yang telah menunggu segala kekejaman, bak serigala menunggu mangsa. Tempat itu bernama dunia.

Kawan...
Yang ku tahu, itulah beberapa alasan yang membuat kita menangis saat terlahir ke dunia. Tangisan yang seolah memberi gambaran, seperti apa tempat yang bernama dunia.

Lalu kawan...
Apa kau pernah melihat mereka yang menemui ajalnya? Lihatlah keluarga mereka. Seluruh anggota keluarga menangis, bahkan ada yang tak puas hanya dengan menangis, menunjukkan ekspresi tak layak.

Ada apa ini? Tak relakah mereka kehilangan sanak saudara yang mereka cintai? Atau, adakah mereka sadar bahwa sang mayat belum mempersiapkan bekal untuk menghadap-Nya?

Saat kita lahir, mereka tersenyum, tertawa, dan bersorak gembira. Namun, saat tiba waktu meninggalkan dunia, mereka menangis seakan tak rela.

Begitulah kebanyakan dari kita.

Kawan...
Apakah kau pernah melihat mereka yang berpulang dalam keadaan tersenyum? Mereka dihantar sanak keluarga dengan senyum pula?
Aku pernah.

Siapa mereka?
Orang-orang yang semasa hidupnya tak terlena dengan tipu muslihat dunia. Orang-orang yang semasa hidupnya tak tertindas kejamnya dunia. Orang-orang yang semasa hidupnya mempersiapkan bekal untuk menghadap Tuhannya. Indah kawan, sungguh indah.

Apakah mereka terlahir dalam keadaan tersenyum? Tidak, mereka sama seperti kita terlahir dengan tangis.

Lalu, saat berpulang mana yang akan kita pilih? Menangis, dan di hantar dengan riuh isak tangis, atau tersenyum, dan di hantar dengan damainya senyum.

Ku rasa, kau, aku, dan kita semua sedikit banyak dapat melihat gambaran ending dari kisah kehidupan kita. Apakah kita terlena dengan jerat tipu daya dunia? Atau kita mampu menaklukkan dunia dengan karya dan bekal hingga tiba waktu berpulang?

Jawabannya ada di tangan kita...


Kamis, 18 Maret 2010

Gadis Gerbong

Ia berdiri tegang. Riuh penumpang yang turun semakin membuat telinganya bekerja ekstra, untuk menangkap satu suara yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan.

Debu yang berputar menari-nari di bawah amarah mentari yang membakar kulit, tak jua membuatnya bergeming.

Satu wajah ayu itu telah kehilangan pesonanya. Sembab di bawah mata memperjelas betapa jarang mata itu terlelap damai. Kulit bersih yang selalu ia rawat, kini seperti pohon yang kering tak tersiram curahan air penyambung hidup. Hingga malam menjemput, ia tetap bertahan.

Kereta terakhir pun datang. Hingga penumpang satu-satunya yang tersisa turun, ia tak menemukan yang ia tunggu.
"mungkin kereta besok" gumamnya.
Dengan gontai ia meninggalkan rel kereta yang sedari tadi menjadi saksi keguguhan si wanita.

Rubi nama wanita itu. Sosok wanita periang, cerdas dan selalu menjadi panutan. Di keluarga, ia yang paling menonjol. Predikat "anak emas" sudah tentu ia sandang (walau ia tak mengharapkannya).

Semasa di bangku kuliah, Rubi aktif dalam kegiatan sosial. Korban tsunami di Aceh, gempa di Padang, adalah di antara yang tak luput dari keringantanganan seorang Rubi.

Cantik dan pintar, siapa yang tak ingin menjadikannya pacar. Namun, sang kembang kampus tetap pada pendiriannya, tak ingin memberi harap yang akhirnya menghempaskan para kumbang dan menorehkan kecewa. Semua ia anggap sama, anggapan yang membuat para pria itu harus menelan kepahitan, "Teman".

Ia memang memiliki segala. Menjadi sorot perhatian kemanapun ia melangkah. Namun, ia tetap seorang gadis yang menginginkan kehadiran pria tempat ia berbagi, menggantungkan hati.

Tegar adalah pria beruntung itu. Pria dengan perawakan tinggi, berdedikasi dan serius dalam menekuni sesuatu. Dan, itulah yang menjadi alasan Rubi menempatkan hati pada pria itu. Banyak mata memandang iri mereka, menempatkan mereka pasangan sempurna, Rubi yang cerdas,Tegar yang gigih.

Hari yang dinanti tiba. Lamaran telah di terima, kuliah telah selesai, hari pernikahan pun ditentukan.

Menjadi istri seorang Tegar hal yang paling membahagiakan bagi Rubi. Tegar memperlakukannya dengan lembut, tak pernah sekalipun membuat ia sedih. Ah... sungguh, Rubi merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia.

Surat itu datang. Surat perintah yang seakan malaikat pun tak punya kuasa mencegahnya. Surat yang membuat hati Rubi hancur bak gelas yang di hempas dan berhamburan, menyisakan serpihan yang menyakitkan.
"apakah abang harus pergi sekarang?" tanya Rubi.
"sayang, kau tahu ini kewajibanku. Abang akan segera pulang".
Tegar memeluk istrinya, mencium dan membelai rambut indah Rubi.

Belum genap satu minggu usia pernikahan mereka, namun Rubi harus merelakan suaminya. Ia sadar, ini merupakan resiko menikahi seorang abdi negara. Tegar adalah tentara yang mempunyai prestasi cukup gemilang di kesatuannya. Dan, Rubi hanya bisa pasrah.

Tiga bulan ia menunggu. Tiap malam ia panjatkan doa hanya untuk keselamatan suami tercinta. Lama ia simpan kabar itu, kabar telah menunggu buah cintakasih mereka di dalam rahim Rubi, buah cinta yang membuatnya bertahan untuk tetap menunggu.

Dunia seakan terhempas. Bangunan-bangunan harapan yang telah ia susun hancur tanpa penghalang. Mimpi-mimpi indah yang ia rajut terkoyak. Ia hanya bisa menangis, tak kuat, ia jatuh dan terpuruk ke dunia mimpi, meninggalkan kenyataan kelam tentang hancurnya istana kebahagiaan.

Rubi tersadar, masih dengan surat di tangan kiri. Surat dengan segel emas yang terlekat indah. Amplop biru dengan simbol kesatuan yang gagah, surat yang membuat dunianya luluh lantak. Surat itu diakhiri dengan kalimat menyayat, "kami turut berduka cita".

Sejak saat itu, terlihat wanita muda berusia 25 tahunan berdiri di depan gerbong pemberhentian kereta api. Wajah lusuhnya setia menemani gerbong itu hingga fajar kembali berselimut di balik kelamnya malam.


Rabu, 17 Maret 2010

The Killer

Lena sibuk membongkar tas sekolahnya. Wajahnya pucat.
"Mampus, perasaan udah gue masukin deh". Gumam Lena.
Bel sekolah tinggal menunggu hitungan menit meneriakkan instruksi yang harus di patuhi seluruh penghuni sekolah.

Dan, jam pelajaran matematika pun di mulai. Jadilah, Lena berdiri di depan kelas dihadapan puluhan pasang mata (tentunya dengan perasaan malu tak kentara) lantaran lupa membawa PR.

Bukan berdiri di depan kelas yang membuat Lena malu, namun Cendera mata berupa coretan manis dengan spidol tebal di kedua pipinya, oleh-oleh dari Bu Zara (guru matematika yang terkenal killer seantero sekolah). Membayangkan coretan tersebut harus bertahan hingga jam sekolah usai, semakin membuat Lena putus asa.

"rese' tu guru, ni kan baru ke tiga kalinya gue ga' bikin PR" Geram Lena.
"tiga kali? masih mending. Gue yang baru sekali juga bernasib sama len" sahut Rika teman sekelas Lena.
"mesti di kasi pelajaran tu orang biar ga..." titttttttttttt. Jemputan Lena pun datang.

Lena sibuk memutar otak, mencari strategi yang pas untuk membalas Bu Zara. Reputasi Lena sebagai gadis badung, memang sudah melegenda. Dari kelas 1 ia berhasil menampakkan taringnya. wajar, jika sampai sekarang tak ada cowok yang mau mendekatinya.

Esok pagi, seperti tak ingin membuang waktu, Lena melaksanakan pembalasan dendamnya. Permen karet yang telah di emut sedari tadi menjadi senjata utama. Posisi pun di tentukan. Kursi guru media yang tepat.

Sekilas tak tampak gundukan kecil permen karet di kursi depan. Warna putih kursi menjadi samaran sempurna bagi permen karet "balas dendam" Lena. Semua siap. Murid lainnya sudah pasti tak berani komentar atau, tinju pamungkas Lena melayang di muka.

Bel berbunyi. Waktu yang di tunggu pun tiba.

Alangkah terkejutnya Lena, saat yang masuk dari pintu kelas bukan sosok seorang perempuan berkerudung, lengkap dengan kacamata minus dan penggaris besinya, melainkan seorang pria dengan kumis, berkepala botak.

"Selamat pagi anak-anak". sapa Kepala Sekolah.
"selamat pagi pak" sahut seisi kelas serempak.
"hari ini Ibu Zara berhalangan masuk, beliau sakit. Kebetulan sudah lama bapak tidak masuk ke kelas kalian, jadi sekalian saja bapak mampir. Ada beberapa informasi seputar ujian nasional yang akan bapak sampaikan".

Seisi kelas bersorak gembira, namun tidak demikian dengan Lena. Ia kesal, rencana yang telah ia fikirkan semalaman hingga menyita jam tidur, kini harus sia-sia. Serentetan sumpah serapah ia keluarkan. Siswa lain hanya bisa tersenyum melihat si cewek badung menahan kesal.

Waktu terus berjalan, namun tak sekalipun Lena berhasil melaksanakan pembalasan dendamnya. Sepertinya Bu Zara guru yang beruntung. Pernah suatu kali Lena melaksanakan taktiknya yang gagal kemaren. Kenyataannya, tak sedikitpun Bu Zara duduk di bangku. Ia memberikan ulangan mendadak, dan berkeliling mengawas pekerjaan seisi kelas. Dan Lena, hanya bisa menggeram.

Banyak lagi kejadian lainnya yang menyelamatkan Bu Zara dari pembalasan dendam Lena.

"les tambahan? apa-apan tu guru" teriak Lena saat Rika memberitahu les tambahan matematika di Rumah Bu Zara.
"iya Len, ujiankan udah dekat, jadi kita dikasi ujian tambahan" sahut Rika.
"tapi kenapa harus di rumah Bu Zara?"
"ya, karena Bu Zara maunya begitu".

Lena semakin membenci Bu Zahra. Bukan hanya karena ia tak pandai matematika, tapi karena ia belum berhasil membalas dendam.

Dan les pun dimulai. Awalnya Lena membayangkan wanita setengah baya itu tinggal di rumah yang mewah. Wanita itu memiliki kulit putih yang bersih, wajah ayu, dan cerdas dalam memberikan strategi menjawab pelajaran secara cepat kepada para siswa (dan Lena benci mengakuinya). Pastilah ia tinggal di rumah yang mewah dan serba kecukupan.

Lena sedikit terkejut melihat kenyataan yang tak sesuai dengan khayalannya. Tempat tinggal wanita tersebut tak lebih besar dari rumahnya. Papan kayu sederhana (namun bersih) menjadi alas rumah tersebut, tanpa karpet atau permadani. Empat buah kursi dan sebuah meja tamu terletak di sebuah ruangan yang mereka tempati saat itu (dan Lena langsung bisa menebak ruangan itu adalah ruang tamu). Ruangan di belakangnya sama besar dengan ruang tamu, hanya di pisahkan oleh sekat. Hanya ada dua buah kamar di rumah tersebut. Inilah rumah Bu Zara, yang menurut Lena sederhana, bahkan teramat sederhana.

"maaf ya anak-anak menunggu lama" Bu Zara tiba-tiba keluar dari ruang belakang.
"ah ga apa-apa ko Bu" sahut para siswa.

Pelajaran matematika pun dimulai. "Tunggu, ada yang lain disisni" fikir Lena. Bu Zara kelihatan berbeda. Bukan tampilan fisik, tapi caranya mengajar. Ia tak seperti guru killer yang sering ia tunjukkan di kelas. Senyum selalu ia perlihatkan sembari menjelaskan pelajaran. Dan, satu hal yang juga lena sadari, Bu Zara kelihatan lebih sabar dalam memberikan penjelasan, tak ada pukulan penggaris besi saat kami tak bisa menjawab pertanyaannya, ia sungguh berbeda.

Tak tahu mengapa, Lena merasa pelajaran matematika hari ini begitu mudah. Semua dapat ia serap dengan sempurna (padahal ini hanya pengulangan dari apa yang pernah Bu Zara sampaikan di kelas). Apakah karena cara penyampaian Bu Zara yang berbeda? yang pasti Lena mulai menyukai matematika, dan yang lebih aneh lagi, ia mulai menyukai Bu Zara.

Ternyata wanita itu tak segalak kelihatannya. Apa yang terlihat hari ini sungguh berbanding terbalik dengan keadaan biasanya. Atau, memang ini sikap asli Bu Zara? Lena mulai bertanya-tanya dalam dirinya. Ternyata keanehan itu juga dirasakan oleh teman sekelas Lena.

"maaf kalau selama ini Ibu terkesan jahat sama kalian" Jelas Bu Zara setelah les tambahan selesai.
"Ibu cuma ga' ingin kalian main-main saat belajar, ya maklum la, matematika memang bukan pelajaran yang mudah di tangkap jika dibandingkan pelajaran lain. Jadi, serius modal utama" Lanjut Bu Zara.
"oh ga apa-apa ko bu, kami ngerti" sahut Lena.

Tak tahu kekuatan dari mana, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Lena. Siswa lainnya sampai terbengonmg-bengong mendengar jawaban Lena. Dan Lena merasa pipinya memanas (bukan karena marah, tapi malu).

Les hari itu pun selesai
"Lena, tunggu sebentar" panggil Bu Zara saat lena hendak meninggalkan rumah.
"kamu ada waktu? ibu ingin bicara sebentar sama kamu"
"oh ada bu" sahut Lena.
"ibu minta maaf jika selama ini kamu yang paling sering merasakan kekejaman ibu. Semua itu Ibu lakukan agar kamu lebih serius belajar". Lena hanya bisa tersenyum
"kamu sebenarnya pintar Lena, cuma sedikit malas. Ibu yakin kalau kamu rajin, kamu dapat melebihi teman-teman kamu yang lain......"

Entah apa lagi yang di sampaikan Bu Zara, Lena terhanyaut dalam lamunannya. Hingga sampai di rumah, ia masih bingung, bukan karena ia tak mendengarkan seluruh permintan maaf wanita itu, tapi bingung karena ia kagum pada wanita itu. Lalu kemana dendam itu pergi? Lena tambah bingung.



Senin, 15 Maret 2010

Nasehat Ibu

Lebih dari sekedar nasehat, aku menganggapnya tuntunan, karena ku yakin petuahnya adalah doa.

Masih ku ingat, penuh perhatian (sembari membelai rambutku), ibu menyampaikan wejangannya. Wejangan yang hingga kini tetap tertancap bak akar pohon yang menghujam tanah.

Anakku,
Jadilah kau inspirasi bagi orang lain. Jadikan setiap tindakmu sentiasa bermanfaat bagi mereka. Siram mereka dengan ide-ide cemerlang mu. Bangunkan lena mereka dengan aksi cerdasmu.

Anakku,
Segala yang kita lakukan adalah ujian, yang kelak akan di mintai pertanggung jawabannya.
Lewati ujian itu dengan sebaiknya. Dapatkan predikat terbaik, agar kau tak malu saat masa evaluasi tiba. Fikirkan setiap langkah yang akan kau ambil, karena (sekali lagi) itupun akan kau pertanggung jawabkan.

Anakku,
Negara kita sedang di ambang kebimbangan. Pemimpin yang sewajarnya menjadi tumpuan, justru berbalik menyengsarakan. Jadilah kau pemimpin yang adil (sekecil apapun itu). Hilangkan hasrat menyenangkan diri atas kedudukanmu. Sungguh, kau telah gagal saat mereka yang ada di bawahmu menderita dalam kekuasaanmu.

Anakku,
Tak peduli sesibuk apapun dirimu, luangkan waktu untuk menghadap Sang Pemilik Waktu. Jadikan Ia tempatmu mengadu. Menangis lah jika kau ingin menangis saat menjumpai-Nya. Mintalah petunjuk kepada-Nya, Sang Maha Memberi Petunjuk. Jadikan Aturan-Nya acuan hidup mu.

Anakku,
Hormati yang tua. Orang tua adalah cerminan dirimu di masa mendatang. Muliakan ia dengan keindahan akhlak mu. Buat ia bangga dengan kerendahan hatimu.

Anakku,
Sayangi yang muda, mereka pun pelajaran bagimu untuk mendidik keturunanmu. Dekati mereka, bimbing untuk memanfaatkan masa muda kearah kebaikan. Jadikan dirimu sahabat sekaligus guru, tempat mereka berbagi dan mencari ilmu.

Anakku,
Asah senjatamu untuk meluluh lantakkan tirani. Hujam mereka dengan pedang kebenaran. Muntahkan pena kejujuran saat keangkara murkaan merajalela. Terkam musuhmu dengan cakar keadilan saat kesengsaraan mereka tebar di sekitarmu.

Anakku,
Ingat selalu pesan ibumu ini. Karena ibu yakin, dimasamu nanti, dunia kan semakin kejam.

Cara-Nya Mendidik

Kawan,
Kau mungkin pernah kesal karena rencana keluar bersama teman-teman mu berantakan, hanya karena hujan. Atau, kau mungkin pernah memaki lantaran apa yang kau kehendaki tak kau dapati.
Aku pernah...

Kawan,
Kita mungkin pernah dilanda musibah, dan menyalahkan keadaan yang terjadi. Tak menerima apa yang telah di gariskan-Nya, atau bahkan terkesan menentang (walau mungkin kita tak menyadari).
Aku pernah...

Kawan,
Kau mungkin pernah "merajuk" lantaran tak mendapatkan apa yang kau inginkan dari orang tuamu. Kau serang mereka dengan kata-kata pelit, tak sayang, bahkan tak segan-segan kau tak mau menyapa mereka.
aku pernah...

Kawan,
Mari kita belajar dari mereka yang mungkin tak seberuntung kita. Kau lihat mereka di pinggir jalan sana, yang untuk menyambung hidup, mereka harus bermandikan keringat dan debu jalanan. Dengan sapunya, mereka membersihkan jalan yang bahkan kitapun takkan peduli akan kebersihannya. Apakah mereka mengeluh? Tidak.

Dan mari kita lihat mereka yang menjadikan sampah sebagai sumber keuangannya. Mereka yang berteman dengan kotor dan bau setiap harinya, masih dengan alasan yang sama, menyambung hidup. Apakah Mereka juga mengeluh? Tidak kawan.

Lalu, mengapa kita begitu mudahnya mengeluh dan menyalahkan Allah lantaran yang terjadi tak sesuai dengan keinginan kita? Yakinlah kawan, apa yang telah Dia berikan adalah yang terbaik untuk kita. Ia adalah yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya (meskipun tak sesuai dengan keinginan sang hamba).

Coba kita berhenti sejenak, putar kembali memori kelam itu dan ucapkan satu kata ajaib, astarfirullah hal'adzim.

Disinilah bukti kecintaan Allah kepada hambanya (kita). Ia memberikan yang terbaik, tanpa meminta balasan.

Ingatkah kau pada ibumu yang memukul mu apabila kau melakukan kesalahan? Ibu memukul bukan karena tak menyayangimu, justru sebaliknya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Memberikan peringatan, agar anaknya tetap dalam koridor yang seharusnya. Begitulah cara sang ibu mendidik.

Dan kawan,
Allah pun mendidik hamba-Nya seperti ibu. Ia memberikan yang terbaik dengan menjaga hamba-Nya agar tetap pada koridor yang seharusnya. Jika terjadi penyimpangan, maka dengan sabar Allah akan memberikan peringatan.

Begitu indah cara Allah mendidik hamba-Nya. Penuh kesabaran dan kasih sayang.
Masihkah kau menganggap Allah tak adil atau tak menyayangi mu?



Sabtu, 13 Maret 2010

Yang penting ia tahu

Malam itu aku melihatnya, setelah sekian lama tak bersua. Bukan karena jarak atau aktivitas yang membuat kami jarang bertemu, namun prinsip yang menentukan (setidaknya buat ku).

Dulu kami begitu dekat, kedekatan yang ku anggap wajar. Kedekatan yang aku dan dia menyukainya. Kedekatan yang menjadikan kami mengenal satu sama lain lebih dari seharusnya (itupun baru ku sadari).

Aku pernah tak bergairah melakukan apapun jika tak mendengar kabar darinya. Hal yang ku anggap bodoh (lagi-lagi aku baru menyadari).

Ia duduk di sana, tepat di kanan ku (hanya saja dipisahkan oleh lima mahluk lainnya). Tak sengaja mata kami bertemu. Tersenyum adalah satu-satunya hal yang dapat aku lakukan. Bukan karena aku sombong kawan, tapi lebih karena begitulah aturannya. Syukurlah ia tak keberatan, dan membalas senyum ku.

Masih terngiang saat ia menangis waktu aku mengatakan ingin pisah. Bukan karena aku tak menyayanginya, justru karena aku sayang, bahkan teramat sayang. Ia bilang aku hanya mencari-cari alasan yang tak masuk akal, aku tak cinta, pengecut, dan ragam tuduhan lainnya.

Aku sedih, namun puas. Bukan karena aku membuatnya menangis, tapi karena aku telah mengatakan kebenaran yang kubenci (dan itu menyakitkan, untukku dan dia). Dan lagi, dia hanya bisa menangis.

Aku tak tahu apa yang mereka fikirkan tentang ku. Penjelasan ku tak semua dapat diterima dengan lapang dada oleh mereka. Bahkan, ada yang mencemooh dan menghina. "Biarlah" fikirku. aku yakin suatu saat mereka akan mengerti dan menerima semua alasan itu, seperti ia yang kini mengerti.

Dan aku, bersyukur


Jumat, 12 Maret 2010

Degradasi Moral

Waktu aku kecil dulu, aku langsung bersembunyi di belakang emak, atau masuk ke kamar tak berani keluar, jika Bapak melototkan matanya padaku. Tak perlu keluar sepatah katapun dari mulut bapak, atau ia harus bersusah payah untuk bergerak dari tempatnya semula, kalau hanya ingin memarahi ku. Cukup ia buka matanya dengan lebar, dan ia akan mendapati aku ketakutan setengah mati.

Bukan cuma aku yang mengalami hal itu, teman-teman sepermainanku pun demikian. Tak pernah kami melihat para Bapak harus bersusah payah mengejar anaknya yang mungkin membuat mereka kesal. Hanya dengan tatapan mata. Ya, tatapan mata.

Begitulah orang tua kami (khususnya bapak) mengekspresikan kemarahannya, senyap dan lembut, tapi menakutkan. Hanya dengan tatapan mata, kami dapat menggigil di belakang emak kami, bahkan sampai seharian. Hanya dengan tatapan mata kawan.

Namun kini, dapat kau jumpai orang tua yang harus berteriak saat memarahi anaknya. Kau dapat mendengar suara mereka dari ujung gang ke ujung lainnya. Bahkan tak jarang kau temui, anak yang tak segan-segan beradu tinju dengan sang ayah, hanya karena hal sepele.

Dimana rasa takut itu?
Dimana rasa hormat itu?
Dimana sopan-santun yang sering di ajarkan di sekolah?

Mereka bilang ini bukan zamannya lagi. Anak-anak harus di beri kebebasan berekspresi. Mereka tidak akan menjadi anak yang cerdas, jika selalu di dikte orang tua mereka.

Satu persepsi yang salah besar.
Kemana kiblat kita, Eropa?

Pernahkah kau lihat kawan, perlakuan anak-anak terhadap orang tua mereka disana? (yang mereka sebut kebebasan berekspresi), sungguh menyedihkan. Anak-anak mempunyai dunia mereka sendiri. tak ada lagi kedekatan antara orang tua dan mereka. Dan, tak jarang mereka terjerumus dalam pergaulan yang tak semestinya. Dan, kiblat itukah yang akan kita adopsi?

Tak tau dengan kau, tapi dengan lantang aku akan mengatakan TIDAK!

Aku tak ingin generasi setelah kita nanti menjadi generasi yang tak mengedepankan moral dalam bertindak, tak mempunyai adab dalam bertingkah.
Relakah kau suatu saat nanti kau lihat anak-anak menganiaya orang tua mereka sendiri?


Kamis, 11 Maret 2010

Cerita seorang kawan

Hari ini aku kedatangan seorang teman (teman seperjuangan aku menyebutnya). Ia tenaga pengajar di salah satu sekolah dasar di daerah pedalaman.

Belum satu bulan ia bertugas disana. sebuah desa dengan lokasi yang luar biasa, berada di atas bukit. Sebuah sekolah di atas bukit, kau pasti kagum mendengarnya.
Terbayang pemandangan sawah yang terbentang sejauh mata memandang, angin yang berhembus sejuk membelai dan melenakan, belum lagi kicauan burung dan nyanyian riak air pegunungan yang hanya dengan melihat dan mendengarnya semangatmu akan terpompa kembali dan kau merasa siap menghadapi rutinitas mu.

Ha...ha.... kau salah. Buang jauh-jauh fikiran indahmu, karena realita yang akan ku ceritakan mungkin membuat mu terhempas dan kecewa.

Dari kota Pontianak (dengan mengendarai sepeda motor) kau harus menempuh lebih dari 1 jam ke daerah sungai pinyuh. Dari sana kau akan menempuh sekitar 1 jam ke daerah anjungan. 40 menit kemudian, akan kau temui jalan perbukitan yang mendaki dan berbatu, yang akan membuat mu menangis saat melewatinya (jika kau tak terbiasa). Jika kau berpergian di musim hujan, menangis mungkin tak cukup kau lakukan.

Setelah semua penderitaan itu, barulah kau sampai di sebuah Desa (Desa Sadaniang namanya), dan kau akan temukan sebuah sekolah dasar, SDN 12 Sadaniang.

Jika kau terbiasa menikmati tayangan televisi, mendengarkan radio, atau terlelap di antara hembusan AC yang membuai, jadilah penderitaan mu semakin lengkap.
Desa itu belum terjamah listrik kawan.

"Apaaaaaaaaaaaaaaaa", kau boleh berteriak sekuatnya, tapi begitulah adanya. Tak ada TV, kulkas, kipas angin, atau barang-barang elektronik lain yang menggunakan listrik sebagai sumber tenaganya.
"Bagaimana dengan lampu?". Sama.
Di malam hari, kau hanya akan ditemani oleh cahaya lilin atau pelita hingga pagi menjelang.

Oh ya, aku belum menceritakan padamu tentang sekolah itu kan? Satu diantara dua sekolah yang ada di desa tersebut. Kondisinya pun tak kalah memprihatinkan dari rute yang harus kau tempuh tadi.

Jumlah keseluruhan murid di sekolah tersebut hanya 44 siswa, dengan tenaga pengajar sejumlah delapan orang. ( empat diantaranya berstatus tenaga honorer ). Tak terhitung berapa jumlah guru yang silih berganti mengajar disana (kebanyakan hanya bertahan dua tahun).
kita mungkin tak bisa menyalahkan mereka yang merasa "tak betah" berkarya di daerah terpencil tersebut. Namun, kita pun tak bisa membenarkan dimana sekolah tersebut harus menjadi korban mereka-mereka yang ingin menikmati kondisi lebih baik di tempat yang lebih baik juga

Lalu, bagaimana nasib mereka yang silih berganti ditinggal oleh Bapak, Ibu guru, yang padanya harapan mereka pupuk, harapan untuk menjadi jembatan bagi mereka mencapai mimpi?




Untuk saudaraku Agus Pritandi...
Aku yakin, padamu pula harapan mereka jahit, untuk bisa tumbuh mencapai impian mereka.
Pilihan itu ada di tanganmu, apakah kau akan mewujudkan impian mereka, atau kau akan mengikuti pendahulu mu, hilang dan melupakan SD kecil itu ....



Rabu, 10 Maret 2010

Gerobak dan Pena

Matahari merangkak naik, kau pun akan merasakan panasnya jika kau keluar tanpa menggunakan pelindung. fatamorgana menambah ganasnya bumi khatulistiwa siang itu. Anak-anak sekolah berhamburan menuju mamang-mamang es yang menjajakkan dagangan mereka di tepi jalan. Minuman dingin dan segar memang pilihan pas di siang terik ini. Asap dan debu kendaraan seperti tak mau ketinggalan, menyelimuti udara di sekitar jalan raya.

Disini, kau akan menemukan sungai terpanjang di Asia Tenggara, yang terbentang hampir di seluruh wilayah khatulistiwa. Terdapat dua jalur transportasi yang dapat kau gunakan untuk menyeberangi sungai Kapuas, kau akan menemukan kapal feri yang mengangkut penumpang dan kendaraan mereka yang hendak menyeberang sungai. Masyarakat setempat menamakannya "pelampong". Jalur alternatif lainnya berupa jembatan penghubung yang membentang di atas sungai kapuas, jembatan Tol namanya.

Dibawah jembatan Tol, kau akan menemukan rumah-rumah penduduk yang kebanyakan di bangun di atas air. Mereka menggunakan air sungai kapuas sebagai kebutuhan sehari-hari mereka. Dan, diantara rumah-rumah tersebut, terdapat sebuah rumah yang di tinggali seorang lelaki tua, berkulit hitam, agak tinggi dan berbadan kurus. Lelaki tua itu bernama Amat, Pak Amat penduduk sekitar memanggilnya. Wajahnya tirus. Terlihat tulang yang sedikit menyembul diantara kedua rahangnya. Mata hitam yang dalam serta urat-urat yang masih terlihat di kedua lengannya semakin memperjelas bahwa Pak Amat adalah pekerja keras.

Berbekal gerobak, Pak Amat memulai aktivitasnya selepas isya. Dari komplek ke komplek ia berpindah mengumpulkan sampah untuk di buang ke tempat pembuangan umum. Ya.... Pak Amat bekerja sebagai pengumpul sampah di beberapa komplek tak jauh dari tempat tinggalnya. Memakan waktu sekitar 15 menit berjalan kaki untuk mencapai komplek tempat Pak Amat mengumpulkan sampah.

Gerobak itu ia buat sendiri. Kayu beserta seng bekas mampu ia sulap menjadi sebuah barang serba guna dan menghasilkan, dengan gerobak ini pula Pak Amat berusaha menyambung hidupnya.
pekerjaan pak Amat tak mengenal kata libur. Sehari saja pak Amat tak melaksanakan tugasnya, maka sampah di sekitar komplek akan membumbung dan penduduk akan menjadi sangat cerewet. "diperlukan tapi tak penting", begitulah mungkin anggapan mereka terhadap pak Amat. Namun, lelaki tua itu tak pernah mengeluh, ia melakukan tugasnya dengan tersenyum, ya... tersenyum.

Lalu, apa yang dilakukan pak Amat di siang hari(seperti saat ini)? seperti tak ada waktu yang terbuang oleh lelaki tua ini. Sejak matahari terbit hingga menjelang magrib, Pak amat mengembil upah mengangkut barang-barang dagangan penjual di sekitar pasar dengan gerobaknya. Beras, sayur, ikan, apapun yang bisa ia bawa, maka akan diterimanya. Tak jarang pak Amat harus bersusah payah mendorong gerobaknya dengan berkarung-karung gula pasir di dalamnya. Namun sekali lagi, pak Amat melakukannya dengan senyuman.

Tak jauh dari pasar rakyat, akan kau temukan satu jalan protokol dengan berbagai pernak-perniknya (bangunan). Di sepanjang jalan dapat kau temukan beberapa warung kopi bagi mereka yang senang berkumpul bersama kolega dan sahabatnya. Di malam hari, warung kopi tersebut dipenuhi oleh para lelaki berbagai usia, mulai dari remaja hingga orang tua. Namun, siang hari seperti ini pun warung kopi tersebut tetap ramai, hanya saja dipenuhi oleh para pria berseragam (kadang juga terdapat wanita).

Kebanyakan dari pria tersebut berada disana sejak pagi (jam 10). Jika kau tanya alasannya, maka jawaban yang cukup ironis akan kau dapatkan, "sedang tak ada kerjaan".
Satu potret yang sungguh memprihatinkan, di satu sisi mereka yang berjuang dengan tiap tetes keringatnya untuk menyambung hidup, bahkan tak jarang harus berkubang dengan bau dan kotoran. Sedangkan disisi lain, mereka yang bekerja hanya dengan menggunakan sedikit penanya, harus membuang-buang waktu hanya dengan alasan "tak ada kerjaan". Dari segi penghasilan, jelas orang-orang seperti pak Amat kalah jauh dibandingkan dengan para pria berseragam di sana, yang setiap harinya berada di dalam ruangan yang sejuk, dengan penghasilan tetap di atas rata-rata perbulannya.

Sampai kapan sketsa ini akan tetap terlihat? akan kah mereka yang berseragam dengan penanya mengambil sedikit pelajaran dari perjuangan pak Amat dan gerobaknya?

Entahlah.......

Senin, 08 Maret 2010

Aku, kau dan keangkuhan kita

Apa kau masih ingat kawan?
waktu kecil aku, kau dan mereka sering bermain bersama di lapangan belakang. Sepak bola adalah permainan favorit kita. Di lapangan belakang, dunia kita bangun. Canda, tawa, tangis, semua kita lakukan bersama di lapangan belakang.
Namun, lapangan itu kini telah hilang, berganti dengan gedung-gedung yang berdiri dengan congkaknya. Dan, dunia masa kecil kitapun terkubur disana.....

Atau, kau mungkin masih ingat saat kita berlari dan bersembunyi dari kejaran Bu Mila, saat kita mencuri beberapa buah mangganya.
aha..... saat itu kau yang tertangkap, dan aku harus merasakan pahitnya pecutan rotan karena mu ( ternyata rasa setiakawan telah kita pupuk sedari dini ). Dan...... kenangan itupun terkubur, karena sekarang Bu Mila telah menghadap-Nya (kita bahkan tak sempat memohon ampun kepada beliau).

Kawan...
kita pernah berjalan dan berlari bersama. Jauh... bahkan sejauh yang bisa kita tempuh (pada saat itu). Dan tetap, itu hanya sebuah kenangan.

Kawan...
Tahukah engkau, rasa ini seakan memanggil ku, rasa yang datang setiap kali aku berjalan ke belakang,diantara bangunan-bangunan megah, tempat dimana masa kecil kita terkubur.
Aku rindu... rindu untuk mengulang masa-masa itu, masa dimana semua rasa bahagia bersatu. Tak ada saling curiga, tak ada iri hati. Yang ada hanya bersama menghabiskan waktu dengan kegembiraan.

Kawan.... aku tahu kau pun merindukan masa-masa itu. Tapi mengapa, dinding amarah itu begitu besar, mengalahkan besarnya kenangan manis masa kecil kita dulu.
Aku tahu kau disana, mengawasi ku, menatap ku. aku tahu kau ingin menghampiri ku, berbincang denganku, bahkan merangkul ku seperti yang sering kita lakukan dulu. Tapi sekali lagi dinding itu terlalu besar dan kita terperangkap diantaranya. Kita tak ingin berusaha merobohkannya, bahkan membuatnya semakin membesar.

Ah.... bodohnya kita, terutama aku. Ku biarkan iblis memupuk rasa "gengsi" di hati. Ku relakan kesombongan menggerogoti tulang-tulang persahabatan kita. Di usia yang semakin bertambah, aku tak merasa dewasa. Justru merasa kembali seperti anak kecil (hanya saja, tak ada lagi rasa tulusnya persahabatan dan tawa lepas kita).

Sering saat sendiri, aku memikirkan mu kawan. Merenungi kebodohan kita, yang tak pernah mengucap satu kata ajaib itu, yang ku yakin dapat merobohkan dinding keangkuhan yang semakin menjulang. Satu kata yang ku yakin dapat kembali membawa kita pada indahnya kebersamaan. Dan.... kata ajaib itu "maaf".
aku semakin terpuruk. Semakin terjerembab ke dalam lubang keangkuhan. Tak tahu denganmu, tapi yang kulihat, keadaanmupun tak lebih baik dariku.

Aku lelah kawan. Lelah dengan keegoisan ini. Aku semakin rindu akan masa-masa itu. Aku tahu masa itu tak kan pernah terulang. Kita takkan mungkin menciut, kembali dan mengulangi semua. Namun kenangan itu takkan pernah hilang, dan aku bahagia hanya dengan mengenangnya.
Aku sadar kawan, satu-satunya tali yang tetap menghubungkan ku pada kenangan itu adalah kau. Tali yang tinggal menunggu sedikit hujan dan panas untuk putus,dan aku membiarkannya.

Namun, aku ingin memperbaiki tali itu. Aku ingin merobohkan dinding keangkuhan yang berdiri menjulang, dan yang terpenting, aku ingin merangkul mu dan mengatakan betapa aku menyayangi mu kawan.
Karenanya.... segenap keberanian ku pupuk, karang egois ku kikis. Dengan ketetapan hati, malam ini kan ku hampiri kau dan kan ku ucapkan kata ajaib itu.........


Samua karena dia

Pernahkah kau merasa konyol? atau tak tahu harus berbuat apa? hanya karena seseorang? aku pernah.
Aku mengenalnya belum lama. ia wanita biasa dengan sikap yang luar biasa. Biasa, paling tidak begitulah mereka memandangnya(ku rasa lebih karena mereka belum mengenalnya). Luar biasa, karena ia mampu membuatku "kagum" dengan kepribadiannya, dan ku yakin kau pun akan berpendapat demikian. akan ku ceritakan tentang nya.............

Awalnya aku tak begitu memperhatikannya, satu wajah tirus tanpa make up, dengan jilbab lebar menutup kepala hingga bagian dada. Anehnya, walaupun tanpa make up, wajahnya tetap kelihatan ayu (setidaknya demikian di mataku). Jika kau berfikir itu yang membuat ku mulai meliriknya, maka kau salah. aku justru tak menaruh perhatian padanya (setidaknya belum).

Ia tak seperti wanita pada umumnya. Disaat luang, bukan mall atau tempat perbelanjaan lainnya yang ia tuju, atau pun kantin yang kata orang tempat terbaik saat berada di kampus. ia lebih sering menghabiskan waktunya di taman belakang, ditemani buku yang sepertinya tak pernah lepas dari pandangan matanya. ia tak banyak bicara (bukan karena ia kekurangan kosakata untuk mengungkapkan sesuatu), ia tak banyak tertawa (namun senyum selalu menghiasi bibirnya). dan.... aku mulai meliriknya.

Ku pikir, ia tipe wanita yang tak begitu cerdas (lantaran ia tak begitu banyak bicara dan bergaul), ternyata aku salah. IPK nya tak pernah di bawah 3.5 (itupun ku tahu dari akademik).
"oke" fikir ku. ia pasti tak pandai berbicara di depan umum. lagi-lagi aku salah. ternyata ia terpilih menjadi wakil dari kampus kami dalam presentasi karya ilmiah.
ku coba mencari kelemahan dari gadis ini (bukan karena aku iri atau tak suka), tapi sepertinya aku tak menemukannya.

Dan.... rasa itupun semakin tumbuh.........
Belakangan aku baru tahu bahwa ia hidup hanya bersama ibunya. Ayahnya meninggal saat ia duduk di bangku sekolah dasar. dan namanya Ratih.

entah mengapa sejak mengenal Ratih, aku merasa berbeda. aku, anak tunggal yang dari kecil terbiasa sendiri. kedua orang tuaku sukses (menurut mereka), namun tidak bagiku. mereka sering meninggalkanku untuk urusan pekerjaan. terutama ayah, yang kehadirannya tak lebih dari jumlah jari salah satu tanganku dalam hitungan tahun. ya....kau boleh mengasihaniku,aku terima.

Pernah aku kabur dari rumah karena tak cocok dengan ayah. Hampir 2 tahun aku menghilang, pergi melupakan ayah ibuku, sekolahku, bahkan teman-temanku. Kadang aku tak yakin apakah mereka menyayangiku? karena, aku tak melihat itu dari tindakan mereka.
aku sempat mencoba berdekatan dengan narkoba. barang haram itu ku dapatkan dari seorang kawan yang bernasih hampir sama denganku. Dan kau tahu.... aku semakinjauh terpuruk.

Aku sering menangis saat mengingat masa laluku, masa dimana benih kekelaman ku tabur. Aku merasa sendiri, tanpa teman, dan terparah tanpa orang tua. Tak terhitung berapa banyak aku merepotkan keluarga om danu, yang mengangkatku dari keterpurukan itu.

Om danu adalah adik kandung mama, yang selalu menjadi persinggahan saat aku bertengkar dengan ayah. Beliaulah yang meyakinkan ku bahwa hidup ini tak sekedar pelarian, bagitu banyak yang bisa ku raih di masa mudaku, dan jadilah aku..... seorang mahasiswa semester akhir di fakultas tehnik.

Di kampus ini pula aku mengenal Ratih. dan di kampus ini pula aku menemukan perempuan yang lain dari mereka yang pernah aku kenal sebelumya, dan aku ingin bersamanya, ialah Ratih.

Bagai petir yang menyambar tanpa henti, saat Ratih menolak permintaanku untuk menjadi pacarnya. Aku marah, aku bingung dan yang pasti aku sedih. Apakah ia sudah punya pacar? aku bertanya-tanya. namun setahuku, Ratih tak pernah dekat dengan siapapun, terutama laki-laki. tunggu...... itu dia, aku tak pernah melihat ia bersama seorang lelaki, atau ia memang belum mau berpacaran? aku harus tahu jawabannya...

Hatiku hancur, saat Ratih menjelaskan alasannya menolakku. Alasan yang menurutku terlalu di buat-buat.
"bilang aja kalo kamu ga' mau, jangan pake alasan yang ga' masuk akal segala" saat aku meminta alasan kepada ratih.
"bukan begitu gar, tapi memang inilah yang diajarkan syariat kepada kita" jelas ratih.
"syariat apa? ga' pernah aku denger syariat kayak gitu. kalo kamu emang ga mau aku ga' keberata, tapi alasan ini......"
kami berdua terdiam, ratih hanya menggeleng dan meninggalkan ku dalam kemarahan.
aku bingung, bukan karena ratih menolakku, tapi karena alasan yang menurutku tak masuk akal. Ia bilang kalau Islam tak membenarkan adanya pacaran sebelum menikah. ah...... aku semakin kesal dan bingung.

Sejak itu, aku selalu mengawasi gerak-gerik ratih (tentu, tanpa sepengetahuannya). aku kesal dan penasaran. Rasa curiga mulai merasuki otakku, aku yakin ratih telah mempunyai kekasih hingga menolakku. Hingga..... di musholah kampus, aku melihat ratih bertemu dengan seorang lelaki. ada yang aneh disana, aku tak melihat jabatan tangan selayaknya seseorang yang sedang bertemu. Ratuh dan lelaki itu hanya melipat keduatelapak tangan mereka masing-masing di depan dada. Tak ada sentuhan, tak ada gerakan mesra, yang ada hanya obrolan biasa yang membuatku bosan.

Mataku tak lepas dari ratih dan lelaki itu. Namun, aku baru menyadari, tak pernah aku melihat mata ratih maupun pemuda itu saling bertemu. Ada apa ini? aku semakin bingung......................

(Bersambung)






Minggu, 07 Maret 2010

Mereka dan permen......

Berlandaskan pada rasa ingin tahu, ku coba membuktikannya. sore itu, setelah sholat ashar, ku pacu sepeda motorku di salah satu kawasan lampu merah yang terkenal akan "gepeng" nya. Berbekal sekantong permen, "aku siap" batinku.
Apa yang akan aku lakukan? hanya penasaran, ingin membuktikan yang terjadi pada saudaraku. apa itu? kau akan tahu nanti.

Lampu merah, hal yang dinanti, karena itulah tujuanku. seperti yang ku perkirakan, "pengemis cilik" datang menghampiri, lengkap dengan materilnya. kadang aku bingung, siapa mereka? intonasi, ekspresi, bahkan gesture mereka SEMPURNA. bak pemain film profesional, mereka memulai aksinya. Dimulai dengan menghampiri mangsa dengan suara yang memelas. tak lupa ekspresi putus asa, melenakan pengendara yang lewat. Coba lkau lihat properti yang mereka gunakan, Luar Biasa. Baju "kumal" dengan tambalan di sana-sini menambah sempurna peran mereka.

Ku lihat para pengendara mulai merogoh kocek mereka, mencari recehan yang mungkin masih "nyelip" di selah-selah saku celana. Tibalah giliranku. Jika kau mengira aku akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pengendara lain, maka kau salah. Namun ada satu kesamaan, aku dan mereka sama-sama memberi, namun dalam bentuk yang berbeda.

Ku buka bungkusan plastik hitam yang telah ku persiapkan, dan ku serahkan segenggam permen kepada salah seorang "aktor"cilik tersebut.

"Permennnnnnnnnnnn" teriaknya. Entah kekuatan apa yang ada di dalam sebuah permen, anak-anak yang lain segera menghampiri ku. tak perduli dengan pengendara yang lain, bahkan ada yang "menyenggol" para pengendara demi mendapatkan bagian permennya. Aku memperhatikan dengan seksama, saat-saat dimana tak kutemukan ekspresi memelas, atau cemberut di wajah mereka. Yang kudpati hanyalah senyum, bahkan beberapa anak tak segan-segan membuka mulut mereka dengan barisan gigi hitam dan bolong disana-sini, untuk mengekspresikan kegembiraan mereka.

Aku baru tersadar, bahwa mereka adalah anak-anak. Mereka yang dipaksa dewasa sebelum waktunya. Oleh siapa? orang tua, kerabat, atau oarang-orang yang bahkan belum mereka kenal sama sekali. entahlah.....

Namun, satu yang pasti mereka hanyalah anak-anak yang melihat segala sesuatu bukan hanya dari sudut pandang materi. mereka hanyalah anak-anak yang melakukan sesuatu karena mereka mau. Lantas, apakah mereka mau berperan di lampu merah? Yap, mau adalah jawabannya. namun, mengapa mereka mau? ku rasa itulah pertanyaan yang tepat......

Sabtu, 06 Maret 2010

Pak Dokter

Lintah darat, kikir, dokter kejam. Begitulah mereka memanggil Dr. Ridwan, dokter yang ditugaskan di sebuah desa terpencil di Kalimantan. Jangankan aliran listrik, air pun menjadi sesuatu yang berharga disana, mengalahkan kilauan emas yang sering kau temukan menghiasi pergelangan tangan dan leher ibu-ibu di sepanjang jalan di perkotaan.

Desa itu sungguh terpencil, kau membutuhkan waktu setidaknya 2-3 jam berjalan kaki dari kecamatan (karena memang hanya dengan berjalan kaki daerah tersebut dapat kau capai). Belum lagi kau harus merasakan kerikil beserta tanah kuning yang apabila musim hujan datang, maka kau akan menyumpah sepanjang jalan, lantaran kakimu harus terjerumus di dalam tanah sebatas lutut.

Awalnya, masyarakat merasa senang saat Pak Dokter (begitul panggilan awalnya) ditugaskan di daerah tersebut. Masyarakat sangat mengeluk-elukan Dr. Ridwan, apalagi saat mereka tahu, sang dokter datang atas permintaannya sendiri. Aneh memang, mana ada dokter yang ingin ditugaskan di tempat yang serba kekurangan.

Hanya mereka yang berhati malaikatlah yang sanggup melakukannya. tahun pertama semua berjalan seperti harapan masyarakat. Dr. Ridwan mengobati mereka tanpa meminta sepeserpun (kalaupun ada diantara mereka yang membayar dengan hasil bumi, itu semata-mata ucapan terimakasih mereka tanpa di pinta oleh sang dokter). Jadilah Dr. Ridwan malaikat berwujud manusia di mata masyarakat desa.

Musim kemarau adalah kutukan bagi masyarakat desa. Hasil bumi tak dapat di pananen karena mati kekeringan, banyak anak-anak yang sakit kekurangan air bersih, dan masalah-masalah lain yang membuat penduduk desa resah setiap kali kemarau tiba.

Kutukan itu terasa menemukan puncaknya saat 2 tahun terakhir sang dokter mulai berubah. Awalnya penduduk desa mengira sang dokter sedang bercanda (aku belum bilang kan, Dr. Ridwan memang orang yang humoris), namun candaan itu terasa berlebihan saat sang dokter meminta bayaran atas tiap jasa yang ia berikan kepada penduduk desa.

Apa yang akan ia lakukan jika penduduk tak mau membayarnya? maka ia tak segan-segan untuk mengusir mereka dari rumahnya, dan menyuruh mencari dokter yang lain (dan hal itu adalah mustahil, karena ia dokter satu-satunya di desa ini). Penduduk semakin putus asa, mereka tak tahu kemana perginya dokter penyelamat mereka. Yang ada kini sosok materialistis yang mengukur segalanya dari segi materi. (atau...memang sang dokter mulai sadar dan mulai menunjukkan siapa dirinya).

Semakin lama biaya pengobatan semakin mencekik penduduk. kemarau ini adalah kemarau terlama yang pernah mereka alami. hasil bumi telah habis, sumber air telah kering, penyakit pun datang bagai lalat yang mengerumuni bangkai. Dan sang dokter...... tetap dengan kekejamannya, menarik upah atas jasa yang ia berikan.

Memohon, memelas, bahkan memaki, semua telah mereka lakukan, namun sang dokter tak jua menunjukan welas asihnya. Penduduk desa terpaksa mengobati kerabat mereka dengan cara tradisional, tak jarang dari mereka justru bertambah parah. "Desa ini bener-benar telah dikutuk, dan ini semua karena dokter sialan itu" geram salah seorang warga. "kita usir saja dia, kalau perlu kita bakar hidup-hidup" sahut yang lainnya.

Masyarakat semakin geram, beberapa bahkan terang-terangan mencoba mencelakai sang dokter, namun tak jua mengubah pendiriannya. Keadaan semakin kalut, kali ini kepala desa pun tak bisa berbuat apa-apa. Kemarahan penduduk telah sampai ke ubun-ubun. Mereka pun mendatangi sang dokter.

" keluar kau dokter jahanam" teriak penduduk yang marah. "pergi kau dari desa kami, atau kami bakar rumahmu".

Tak ada jawaban. penduduk semakin geram. entah siapa yang memulai duluan, mereka mendobrak pintu rumah, dan mendapati sang dokter sedang tidur di kamarnya. tanpa fikir panjang, penduduk lalu menyeret sang dokter keluar dan menghakiminya. Penduduk seperti kesetanan, mereka memukul, menendang, bahkan ada yang menghantamkan kayu jati ke wajah sang dokter. Darah mengalir di sekitar wajah dan tubuh Dr. Ridwan. Namun, semua itu tak membuat penduduk berhenti, bahkan semakin bersemangat sampai......

"hentikan" teriak salah seorang pemuda yang keluar dari dalam hutan. "apa yang kalian lakuak? lepaskan Pak Dokter".
"mengapa kami harus berhenti? kau tahu apa yang telah dilakukan dokter jahanam ini"
'karena aku tahu maka kalian harus menghentikannya" tegas pemuda itu
"ah... sudah lupakan dia, dokter keparat ini harus mati" seorang warga lainnya menyela sambil menendang tubuh si dokter.
" jika kalian ingin tahu yang sebenarnya, lihatlah ke belakang hutan itu" teriak sang pemuda sambil menghentikan penduduk yang terus memukuli sang dokter.

Pemuda itu membopong tubuh sang dokter ke dalam rumah, sedangkan penduduk desa berlarian ke dalam hutan. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat sebuah waduk lengkap dengan pipa-pipa tang telah terpasan keran di tiap ujung-ujungnya. tak lama kemudian si pemuda pun menyusul penduduk desa.
"ini semua ide pak dokter, ia meminta kami untuk merahasiakannya" terang pemuda itu
"maksud mu?" tanya kepala desa
"Pak dokter sengaja miminta kami merahasiakannya, ia tak ingin penduduk desa tahu. ia khawatir jika penduduk tahu, maka kalian tidak akan menyetujui kegiatan ini".
"tapi, pak dokter kan bisa menjelaskan kepada kami"
"itulah yang tak ingin ia lakukan, jika kalian tahu ia merencanakan waduk ini, maka kalian akan menganggap hal itu mustahil dan tidak akan menyetujuinya. Dan kalian tahu, semua ini didanai dari uang yang kalian bayarkan kepadanya tiap kali kalian berobat"
jadi, ....pak dokter sengaja meminta bayaran supaya.... "
"ia, pak dokter sadar kalian tidak akan mau menyisihkan uang kalian untuk membuat waduk ini. semua ini ia lakukan agar kita mempunyai sumber air meski di musim kemarau sekalipun".

Suasana menjadi tenang, masing-masing tenggelam dalam fikirannya sampai......
"ayo kita liat pak dokter" ajak kepala desa.




Kamis, 04 Maret 2010

tak ingin ia datang lagi.............

Sesuatu yang indah pasti di harapkan kembali kehadirannya. Tapi, baru kali ini aku menolak sesuatu yang indah itu terulang kembali. kau pasti bertanya-tanya, kenapa? jawabannya akan kau dapatkan di akhir ceritaku.

Bermula dari malam itu, entah mengapa mataku ini sulit sekali terpejam, kucoba membaca beberapa buku (yang kata orang sangat ampuh mengundang ngantuk), tak jua mendatangkan hasil. oh ya, aku teringat jurus ampuh laiinya, ku coba mengerjakan tugas harian, yang hanya dengan memikirkannya saja aku ingin tidur, namun lagi-lagi tak membuahkan hasil. mata semakin "segar" saja, perut pun tak mau mengalah, ingin mendapatkah jatah yang seharusnya tak ada dalam jadwal malam ku. Alhasil, duduklah aku di depan televisi sambil ditemani mie rebus telur buatanku.

ku lirik jam, oh, baru jam 01.00. APA????? jam 01.00, setengah memohon aku berharap mata ini menemukan minatnya untuk sedikit terlelap. tapi, percuma. Aku semakin terlena dengan tayangan di depan mata. Alhamdulillah, rasa syukur tak sadar keluar dari mulutku, saat beberapa kali mulut ini menguap, dan mataku sepertinya telah menemukan minatnya untuk terlelap. Disinilah segalanya bermula.

kau pasti tau di mana seseorang menemukan kisahnya saat ia terlelap, yap, di dalam mimpi. mimpi yang tak ingin ku ulangi lagi. Bukan karena mimpi itu buruk, tapi karena mimpi itu indah, bahkan terlalu indah. Aku bermimpi berlari, bersama kawan dan saudara-saudaraku. Bersama mereka, aku melakukan apa yang ingin ku lakukan. Aku seperti orang yang baru menikmati suasana kebebasan setelah terkurung sekian lama di jeruji besi. puncak kebahagiaan itu, aku menjemput impian terbesarku, bertamasya sambil mensucikan diri di tanah suci bersama orang tuaku.

Aku terbangun, matahari menengok di selah-selah ventilasi jendela kamarku. Disanalah aku tersadar, bahwa aku sedang bermimpi. Kulirik di balik selimutku, ternyata aku memang bermimpi, karena aku mendapati kadua kakiku yang "buntung" akibat kecelakaan dua tahun lalu. tanpa sadar aku menangis, dan aku berjanji aku tak akan pernah memimpikannya lagi. Aku yakin, kau pasti tau alasannya......

Rabu, 03 Maret 2010

namanya..... Rani

Ia bukan orang yang biasa (ku tahu kau pun akan berpendapat demikian). tapi jangan salah, bukan karena keterbelakangan mentalnya yang membuat ia "tak biasa", tapi karena sikap tulus yang selalu ia berikan kepada setiap orang yang ia temui. aku, beberapa kali merasakan ketulusan Rani.

Awalnya aku takut ( kau pasti mengerti, berdekatan dengan mereka yang mengalami keterbelakangan mental ) namun, semakin mengenalnya, semakin membuat ku kagum dengan sosok seorang Rani.

Lihat saja senyuman di bibirnya, mengalahkan ketulusan senyum gadis-gadis cantik dalam ajang pemilihan ratu kecantikan sedunia. namun, senyum saja takkan cukup untuk mengungkapkan betapa tulusnya Rani.

Jika kau sedang kebingungan (mungkin mencari sandalmu yang hilang di masjid), maka Rani adalah orang pertama yang menghampirimu, tapi bukan untuk menakuti,melainkan menawarkan jasanya.

Yap, menawarkan jasanya (kalau kau pikir ia akan meminta bayaran, maka kau salah besar) tetap, dengan senyum tulusnya. rani, anak bungsu dari 3 bersaudara. Ia dari keluarga yang cukup berada.

Kadang kita memang tak tahu rahasia dari rencana Tuhan, namun satu yang ku tahu pasti, Rani adalah satu diantara mereka yang membuat bumi ini tetap bertahan dari kemarahan-Nya.
Akhirnya kesmpaian juga punya bog. trim's buat seorang teman yg udh menjerumuskanku ke jalan yang benar, hingga aku terjebak di dunia bloger ini. But, I'm happy ( kan sudah ku bilang, aku terjebak di jalan yg benar ^_^ ). Senang rasanya punya wadah untuk mengekspresikan diri, terutama di dunia tulis menulis. semoga blog ini membawa manfaat untukku, mereka dan kalian. I just wanna say, well come to my self. ^_^

Selasa, 02 Maret 2010

well me come

bermula dari hasrat yang semakin menggelora, akhirnya kesampaian juga punya blog ( hehehe ).

yap.... blog ini akan ku pergunakan semaksimal mungkin, setidaknya untuk menumpah ruahkan segala rasa yang ada di benak. terimakasih buat seorang teman yang telah memfasilitasi blog ini ( wu huyy ), tanpanya tak tahu kapan aku bisa punya blog.

Tak lupa juga ibu kantin, yang dengan sabar mendengarkan rentetan cerita-cerita ku yang mungkin membosankan baginya ( maaf ya bu ), hingga aku memiliki blog ini (tenang bu, segala kebisingan ku akan segera berakhir. he he). aku hanya ingin mengucapkan selamat datang pada diriku, di dunia blog yang kata orang t4 mengekspresikan segala bentuk.

Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......