Senin, 08 Maret 2010

Aku, kau dan keangkuhan kita

Apa kau masih ingat kawan?
waktu kecil aku, kau dan mereka sering bermain bersama di lapangan belakang. Sepak bola adalah permainan favorit kita. Di lapangan belakang, dunia kita bangun. Canda, tawa, tangis, semua kita lakukan bersama di lapangan belakang.
Namun, lapangan itu kini telah hilang, berganti dengan gedung-gedung yang berdiri dengan congkaknya. Dan, dunia masa kecil kitapun terkubur disana.....

Atau, kau mungkin masih ingat saat kita berlari dan bersembunyi dari kejaran Bu Mila, saat kita mencuri beberapa buah mangganya.
aha..... saat itu kau yang tertangkap, dan aku harus merasakan pahitnya pecutan rotan karena mu ( ternyata rasa setiakawan telah kita pupuk sedari dini ). Dan...... kenangan itupun terkubur, karena sekarang Bu Mila telah menghadap-Nya (kita bahkan tak sempat memohon ampun kepada beliau).

Kawan...
kita pernah berjalan dan berlari bersama. Jauh... bahkan sejauh yang bisa kita tempuh (pada saat itu). Dan tetap, itu hanya sebuah kenangan.

Kawan...
Tahukah engkau, rasa ini seakan memanggil ku, rasa yang datang setiap kali aku berjalan ke belakang,diantara bangunan-bangunan megah, tempat dimana masa kecil kita terkubur.
Aku rindu... rindu untuk mengulang masa-masa itu, masa dimana semua rasa bahagia bersatu. Tak ada saling curiga, tak ada iri hati. Yang ada hanya bersama menghabiskan waktu dengan kegembiraan.

Kawan.... aku tahu kau pun merindukan masa-masa itu. Tapi mengapa, dinding amarah itu begitu besar, mengalahkan besarnya kenangan manis masa kecil kita dulu.
Aku tahu kau disana, mengawasi ku, menatap ku. aku tahu kau ingin menghampiri ku, berbincang denganku, bahkan merangkul ku seperti yang sering kita lakukan dulu. Tapi sekali lagi dinding itu terlalu besar dan kita terperangkap diantaranya. Kita tak ingin berusaha merobohkannya, bahkan membuatnya semakin membesar.

Ah.... bodohnya kita, terutama aku. Ku biarkan iblis memupuk rasa "gengsi" di hati. Ku relakan kesombongan menggerogoti tulang-tulang persahabatan kita. Di usia yang semakin bertambah, aku tak merasa dewasa. Justru merasa kembali seperti anak kecil (hanya saja, tak ada lagi rasa tulusnya persahabatan dan tawa lepas kita).

Sering saat sendiri, aku memikirkan mu kawan. Merenungi kebodohan kita, yang tak pernah mengucap satu kata ajaib itu, yang ku yakin dapat merobohkan dinding keangkuhan yang semakin menjulang. Satu kata yang ku yakin dapat kembali membawa kita pada indahnya kebersamaan. Dan.... kata ajaib itu "maaf".
aku semakin terpuruk. Semakin terjerembab ke dalam lubang keangkuhan. Tak tahu denganmu, tapi yang kulihat, keadaanmupun tak lebih baik dariku.

Aku lelah kawan. Lelah dengan keegoisan ini. Aku semakin rindu akan masa-masa itu. Aku tahu masa itu tak kan pernah terulang. Kita takkan mungkin menciut, kembali dan mengulangi semua. Namun kenangan itu takkan pernah hilang, dan aku bahagia hanya dengan mengenangnya.
Aku sadar kawan, satu-satunya tali yang tetap menghubungkan ku pada kenangan itu adalah kau. Tali yang tinggal menunggu sedikit hujan dan panas untuk putus,dan aku membiarkannya.

Namun, aku ingin memperbaiki tali itu. Aku ingin merobohkan dinding keangkuhan yang berdiri menjulang, dan yang terpenting, aku ingin merangkul mu dan mengatakan betapa aku menyayangi mu kawan.
Karenanya.... segenap keberanian ku pupuk, karang egois ku kikis. Dengan ketetapan hati, malam ini kan ku hampiri kau dan kan ku ucapkan kata ajaib itu.........


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......