Debu yang berputar menari-nari di bawah amarah mentari yang membakar kulit, tak jua membuatnya bergeming.
Satu wajah ayu itu telah kehilangan pesonanya. Sembab di bawah mata memperjelas betapa jarang mata itu terlelap damai. Kulit bersih yang selalu ia rawat, kini seperti pohon yang kering tak tersiram curahan air penyambung hidup. Hingga malam menjemput, ia tetap bertahan.
Kereta terakhir pun datang. Hingga penumpang satu-satunya yang tersisa turun, ia tak menemukan yang ia tunggu.
"mungkin kereta besok" gumamnya.
Dengan gontai ia meninggalkan rel kereta yang sedari tadi menjadi saksi keguguhan si wanita.
Rubi nama wanita itu. Sosok wanita periang, cerdas dan selalu menjadi panutan. Di keluarga, ia yang paling menonjol. Predikat "anak emas" sudah tentu ia sandang (walau ia tak mengharapkannya).
Semasa di bangku kuliah, Rubi aktif dalam kegiatan sosial. Korban tsunami di Aceh, gempa di Padang, adalah di antara yang tak luput dari keringantanganan seorang Rubi.
Cantik dan pintar, siapa yang tak ingin menjadikannya pacar. Namun, sang kembang kampus tetap pada pendiriannya, tak ingin memberi harap yang akhirnya menghempaskan para kumbang dan menorehkan kecewa. Semua ia anggap sama, anggapan yang membuat para pria itu harus menelan kepahitan, "Teman".
Ia memang memiliki segala. Menjadi sorot perhatian kemanapun ia melangkah. Namun, ia tetap seorang gadis yang menginginkan kehadiran pria tempat ia berbagi, menggantungkan hati.
Tegar adalah pria beruntung itu. Pria dengan perawakan tinggi, berdedikasi dan serius dalam menekuni sesuatu. Dan, itulah yang menjadi alasan Rubi menempatkan hati pada pria itu. Banyak mata memandang iri mereka, menempatkan mereka pasangan sempurna, Rubi yang cerdas,Tegar yang gigih.
Hari yang dinanti tiba. Lamaran telah di terima, kuliah telah selesai, hari pernikahan pun ditentukan.
Menjadi istri seorang Tegar hal yang paling membahagiakan bagi Rubi. Tegar memperlakukannya dengan lembut, tak pernah sekalipun membuat ia sedih. Ah... sungguh, Rubi merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia.
Surat itu datang. Surat perintah yang seakan malaikat pun tak punya kuasa mencegahnya. Surat yang membuat hati Rubi hancur bak gelas yang di hempas dan berhamburan, menyisakan serpihan yang menyakitkan.
"apakah abang harus pergi sekarang?" tanya Rubi.
"sayang, kau tahu ini kewajibanku. Abang akan segera pulang".
Tegar memeluk istrinya, mencium dan membelai rambut indah Rubi.
Belum genap satu minggu usia pernikahan mereka, namun Rubi harus merelakan suaminya. Ia sadar, ini merupakan resiko menikahi seorang abdi negara. Tegar adalah tentara yang mempunyai prestasi cukup gemilang di kesatuannya. Dan, Rubi hanya bisa pasrah.
Tiga bulan ia menunggu. Tiap malam ia panjatkan doa hanya untuk keselamatan suami tercinta. Lama ia simpan kabar itu, kabar telah menunggu buah cintakasih mereka di dalam rahim Rubi, buah cinta yang membuatnya bertahan untuk tetap menunggu.
Dunia seakan terhempas. Bangunan-bangunan harapan yang telah ia susun hancur tanpa penghalang. Mimpi-mimpi indah yang ia rajut terkoyak. Ia hanya bisa menangis, tak kuat, ia jatuh dan terpuruk ke dunia mimpi, meninggalkan kenyataan kelam tentang hancurnya istana kebahagiaan.
Rubi tersadar, masih dengan surat di tangan kiri. Surat dengan segel emas yang terlekat indah. Amplop biru dengan simbol kesatuan yang gagah, surat yang membuat dunianya luluh lantak. Surat itu diakhiri dengan kalimat menyayat, "kami turut berduka cita".
Sejak saat itu, terlihat wanita muda berusia 25 tahunan berdiri di depan gerbong pemberhentian kereta api. Wajah lusuhnya setia menemani gerbong itu hingga fajar kembali berselimut di balik kelamnya malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar