Kamis, 11 Maret 2010

Cerita seorang kawan

Hari ini aku kedatangan seorang teman (teman seperjuangan aku menyebutnya). Ia tenaga pengajar di salah satu sekolah dasar di daerah pedalaman.

Belum satu bulan ia bertugas disana. sebuah desa dengan lokasi yang luar biasa, berada di atas bukit. Sebuah sekolah di atas bukit, kau pasti kagum mendengarnya.
Terbayang pemandangan sawah yang terbentang sejauh mata memandang, angin yang berhembus sejuk membelai dan melenakan, belum lagi kicauan burung dan nyanyian riak air pegunungan yang hanya dengan melihat dan mendengarnya semangatmu akan terpompa kembali dan kau merasa siap menghadapi rutinitas mu.

Ha...ha.... kau salah. Buang jauh-jauh fikiran indahmu, karena realita yang akan ku ceritakan mungkin membuat mu terhempas dan kecewa.

Dari kota Pontianak (dengan mengendarai sepeda motor) kau harus menempuh lebih dari 1 jam ke daerah sungai pinyuh. Dari sana kau akan menempuh sekitar 1 jam ke daerah anjungan. 40 menit kemudian, akan kau temui jalan perbukitan yang mendaki dan berbatu, yang akan membuat mu menangis saat melewatinya (jika kau tak terbiasa). Jika kau berpergian di musim hujan, menangis mungkin tak cukup kau lakukan.

Setelah semua penderitaan itu, barulah kau sampai di sebuah Desa (Desa Sadaniang namanya), dan kau akan temukan sebuah sekolah dasar, SDN 12 Sadaniang.

Jika kau terbiasa menikmati tayangan televisi, mendengarkan radio, atau terlelap di antara hembusan AC yang membuai, jadilah penderitaan mu semakin lengkap.
Desa itu belum terjamah listrik kawan.

"Apaaaaaaaaaaaaaaaa", kau boleh berteriak sekuatnya, tapi begitulah adanya. Tak ada TV, kulkas, kipas angin, atau barang-barang elektronik lain yang menggunakan listrik sebagai sumber tenaganya.
"Bagaimana dengan lampu?". Sama.
Di malam hari, kau hanya akan ditemani oleh cahaya lilin atau pelita hingga pagi menjelang.

Oh ya, aku belum menceritakan padamu tentang sekolah itu kan? Satu diantara dua sekolah yang ada di desa tersebut. Kondisinya pun tak kalah memprihatinkan dari rute yang harus kau tempuh tadi.

Jumlah keseluruhan murid di sekolah tersebut hanya 44 siswa, dengan tenaga pengajar sejumlah delapan orang. ( empat diantaranya berstatus tenaga honorer ). Tak terhitung berapa jumlah guru yang silih berganti mengajar disana (kebanyakan hanya bertahan dua tahun).
kita mungkin tak bisa menyalahkan mereka yang merasa "tak betah" berkarya di daerah terpencil tersebut. Namun, kita pun tak bisa membenarkan dimana sekolah tersebut harus menjadi korban mereka-mereka yang ingin menikmati kondisi lebih baik di tempat yang lebih baik juga

Lalu, bagaimana nasib mereka yang silih berganti ditinggal oleh Bapak, Ibu guru, yang padanya harapan mereka pupuk, harapan untuk menjadi jembatan bagi mereka mencapai mimpi?




Untuk saudaraku Agus Pritandi...
Aku yakin, padamu pula harapan mereka jahit, untuk bisa tumbuh mencapai impian mereka.
Pilihan itu ada di tanganmu, apakah kau akan mewujudkan impian mereka, atau kau akan mengikuti pendahulu mu, hilang dan melupakan SD kecil itu ....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......