Kamis, 25 November 2010

Jika Aku Tak Bangun Esok

Saat terlelap, adalah saat terdamai dalam hidup. Dimana hiruk pikuk dunia tak lagi mengganggu, rutinitas seakan lepas, berganti dengan kebebasan. Waktupun serasa terhenti, memberikan ruang khusus bagi diri untuk menyendiri, terlena dalam angan dan mimpi.
Namun, yakinkah kita bahwa suatu saat kita akan tersadar dari lelapnya mimpi? Yakinkah kita bahwa kita akan terbangun dan membuka mata saat pagi hadir?
Tentu jawabannya tidak. Lalu, bagaiman jika ternyata esok kita tak lagi terbangun dari tidur, terlelap untuk selamanya?

Wahai sadarku...
Begitu banyak cerita hidup yang kau tuliskan. Drama kehidupan kau lakoni selayaknya insan yang menjalani kehidupannya. Tangis, tawa, semua tak lupa dari kisahmu.
Namun pernahkah kau merenung, adegan mana yang lebih banyak kau perankan. Apakah rangkaian kehidupan yang tak hanya lebih dari sekedar rutinitas? Atau nilai lebih yang kau torehkan sebagai prestasi sejarah yang membanggakan?
Lalu, bagaimana jika kau tak lagi ada, dan berganti dengan lelap?

Duhai waktu...
Kau adalah mata pedang, yang siap menyayatku. Kau adalah roda besi, yang berputar konstan dan siap menggilas semua yang ada didepanmu. Kau begitu perkasa, sampai Tuhanku pun bersumpah atas dirimu.
Namun sayang, aku lebih banyak menyiakanmu. Aku lupa bahwa kau selalu mengawasiku. Aku lupa bahwa kau tak pernah menunggu dan kembali. Terlebih aku lupa, bahwa kau akan menuntutku di hari akhir nanti.

Lapangku sayang...
Kau adalah segala kemudahan. Kau adalah kesempatan.
Tiap saat aku bersamamu, bersentuhan langsung denganmu. Aku dapat melakukan segala karena kau selalu bersamaku. Aku sanggup menggapai mimpi, karena kau menemaniku.
Celakanya, hadirmu hanya membuatku lalai. Segala kemudahan darimu menjadikanku sibuk dengan duniaku, terobsesi mencari segala kesenangan dan kemewahan. Aku tak lagi mensyukurimu. Ku anggap kehadiranmu adalah satu paket kehidupan yang kebetulan melekat pada diriku.
Dan ironisnya, aku mengacuhkan kenyataan bahwa suatu saat kaupun akan pergi dan berganti dengan sempit.

Wahai diri yang lelah...
Tidurlah, rebahkan penatmu pada damainya mimpi. Sandarkan bebanmu pada kokohnya ketenangan. Manjakan dirimu, isi kembali energi yang telah kau buang semasa sadarmu. Biarkan dirimu bermanja pada tenangnya kesunyian. Lupakan dunia, dan lupakan mereka.
Namun, sebelum kau tidur, satu pertanyaan untukmu. Sudahkah kau yakin bahwa dirimu telah membawa bekal untuk menghadap Tuhanmu? Bagaimana jika esok kau tak bangun? Jika jawabannya belum, maka kau TAK LAYAK UNTUK TIDUR.
Tetaplah sadar, karena kau harus mempersiapkan bekal untuk tabunganmu. Tetaplah bangun, karena kaupun telah banyak tertidur dan lalai.

Lalu kapan waktuku tidur...
Akan tiba wahai diri, akan tiba.... Akan tiba waktu dimana kau bebas untuk memilih tempat beristirahat yang kau inginkan. Akan tiba waktu kau bebas menentukan bantal dan kasur untuk melepas penatmu. Akan tiba waktu istirahatmu, saat kau yakin.... bahwa kakimu telah berada di syurga Tuhanmu...
FS

Selasa, 14 September 2010

Pedihnya Hati Ibu, Polosnya Hati Anak

Suaranya tiba-tiba berubah, terdengar sendu menahan air mata yang akan keluar dari ke dua matanya, tapi ia tetap berusaha tegar di hadapan anaknya yang masih kecil itu. Sang anak terus mengguncang-guncang tubuh ibunya, merengek, meminta sesuatu yang baru saja ia lihat di toko siang tadi.

***

Hari itu Sang Surya telah mematikan cahayanya, satu dua kelelawar berterbangan di udara mencari buah yang siap dihisap sarin patinya. Saya dan dua orang kawan memutuskan untuk makan malam di sebuah warung pecel di Jalan Badak, Denpasar.

Dari logat bicaranya, saya tahu jika penjualnya beretnis jawa. Sepasang suami istri dan dua orang anaknya yang selalu siap menyiapkan makanan bagi pelanggan yang keroncongan perutnya. Tanpa banyak cakap mereka bekerja, sesekali tersenyum kepada pelanggan, dan berucap terima kasih kepada yang sudah dilayaninya.

Ternyata mereka memiliki dua anak lagi, yang satu masih kecil, kira-kira SD kelas 2, dan yang satu lagi SMP. Menggenakan motor Yamaha lawas mereka menghampiri tempat kerja orang tua mereka. Sang anak yang masih kecil, langsung loncat dari motor dan memanggil-manggil ibunya. Sang ibu pun meninggalkan dulu pekerjaannya menyiapkan lalaban, dan memeluk Sang Anak yang kecil lucu itu.

“Bu, besok beli sepatu sama baju yah, tadi aku lihat harganya tujuh lima”, celoteh si anak dengan nada memelas. Si Ibu menciumi si anak dengan penuh kasih sayang, mengelus rambutnya yang hitam lurus tanpa berkata-kata.

”Bukan tujuh lima Bu, tapi tujuh puluh lima ribu”, jelas si kaka tanpa ditanya si ibu terlebih dahulu. “Ade, pilih salah satu yah, itu bukan tujuh lima, tapi tujuh puluh lima ribu, ayoo, mau sepatu atau baju”, tutur si ibu kepada anaknya yang masih kecil dengan penuh kelembutan. “Itu tujuh lima ibu, iya tujuh lima, beli dua-duanya ibu!” si anak kecil itu tambah merengek kepada ibunya.

Si Ibu terdiam sejenak, wajahnya berubah, tampak kantung matanya menahan air mata yang akan membasahi pipinya. Suaranya berubah menjadi sendu, terdengar seperi orang yang menahan tangis dan berusaha tegar di hadapan anaknya. “satu dulu saja ya, nak. Nanti kalau punya uang ibu beli keduanya” dengan nada sedih si ibu berusaha menenangkan anaknya, air mata yang tadi ia tahan jatuh membasahi pipinya, tapi hal ini tidak terlihat jelas, samar di balik kerudung coklat yang ia kenakan.

***

Setelah kejadian kecil di warung itu, pintu hati ku terketuk, dan aku pun turut merasakan kesedihan. Terbayang dalam benaku, akan kelakuan ketika kecil dulu. Rewel, tidak bisa diam, dan yang tahu bermain saja tanpa mempedulikan perasaan orang tua. Keluh kesah selalu ditimpakan kepada orang tua, sedangkan kebahagiaan selalu ditimpakan kepada teman atau kekasih.

Sekarang aku tahu, ketika meminta sesuatu kepada orang tua dan orang tua tidak memenuhinya dengan alasan klasik : ekonomi sedang sulit. hanya akan menambah kesedihan sang ibu.Mana ada sih ibu yang tidak mau membahagiakan anaknya? Pasti selalu terbesit dalam pikiran si ibu, jika punya uang nanti akan membelikan apa yang sia anak mau. Tapi indahnya dunia sering kali membuatkan seorang bocah ingusan yang baru saja mengenyam pendidikan lupa akan kulitnya, meminta tetapi tidak menengok kondisi sesungguhnya.

Seorang anak kecil tidak bijaksana jika kita salahkan dalam persoalan ini. Mungkin yang harus si anak kecil itu lakukan adalah membalas air mata yang pernah jatuh dari mata si ibu. Sebuah air mata kasih sayang dan perhatian yang mendalam kepada buah hati. Air mata yang sama ketika mereka menjerit kesakitan menahan tendangan kita di dalam perutnya.

Demi Air Mata mereka, marilah kita berdoa, semoga kasih anak-anak yang akan dewasa nanti terhadap ibunya semakin tumbuh dan berkembang, sehingga terciptalah keharmonisan cinta dalam kehidupan berkeluarga.Tanpa mereka kita tidak ada di dunia ini, maka mari saling mengingatkan untuk selalu berbakti kepadanya.

Fs

Sabtu, 04 September 2010

Kisah Malaikat dan Manusia

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan (artinya):
“Ada tiga orang dari Bani Israil menderita penyakit belang, botak, dan buta. Allah hendak menguji mereka, maka Allah pun utus kepada mereka Malaikat.

Malaikat itu datang kepada si belang dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si belang menjawab: Saya mendambakan paras yang tampan dan kulit yang bagus serta hilang penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku. Malaikat itu pun mengusap si belang, maka hilanglah penyakit yang menjijikkannya itu, bahkan ia diberi paras yang tampan. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si belang menjawab: Unta. Kemudian ia diberi unta yang bunting sepuluh bulan. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.

Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si botak menjawab: Saya mendambakan rambut yang bagus dan hilangnya penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku ini. Malaikat itu pun mengusap si botak, maka hilanglah penyakitnya itu, serta diberilah ia rambut yang bagus. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si botak menjawab: Sapi. Kemudian ia diberi sapi yang bunting. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.

Kemudian Malaikat itu datang kepada si buta dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si buta menjawab: Saya mendambakan agar Allah mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat. Malaikat itu pun mengusap si buta, dan Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si buta menjawab: Kambing. Kemudian ia diberi kambing yang bunting.

Selang beberapa waktu kemudian, unta, sapi, dan kambing tersebut berkembang biak yang akhirnya si belang tadi memiliki unta yang memenuhi suatu lembah, demikian juga dengan si botak dan si buta, masing-masing memiliki sapi dan kambing yang memenuhi suatu lembah.

Kemudian Malaikat tadi datang kepada si belang dengan menyerupai orang yang berpenyakit belang seperti keadaan si belang waktu itu, dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah memberi engkau paras yang tampan dan kulit yang bagus serta harta kekayaan- seekor unta untuk bekal dalam perjalanan saya. Si belang berkata: Hak-hak yang harus saya berikan masih banyak.

Malaikat itu berkata: Kalau tidak salah saya sudah mengenalimu. Bukankah kamu dahulu orang yang berpenyakit belang sehingga orang lain merasa jijik kepadamu? Bukankah kamu dahulu orang yang miskin kemudian Allah memberi kekayaan kepadamu? Si belang berkata: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku. Malaikat itu berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu seperti keadaan semula.

Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak seperti keadaan si botak waktu itu. Dan berkata kepadanya seperti apa yang dikatakan kepada si belang. Si botak juga menjawab seperti jawaban si belang tadi. Kemudian Malaikat tadi berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah ? mengembalikanmu seperti keadaan semula.

Kemudian Malaikat tadi mendatangi si buta dengan menyerupai orang buta seperti keadaan si buta waktu itu dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah ? kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah mengembalikan penglihatanmu- seekor kambing untuk bekal dalam perjalanan saya. Si buta berkata: Saya dahulu adalah orang yang buta kemudian Allah mengembalikan penglihatan saya. Maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah apa yang tidak kamu senangi. Demi Allah, sekarang saya tidak akan memberatkan sesuatu kepadamu yang kamu ambil karena Allah Yang Maha Mulia. Malaikat itu berkata: Peliharalah harta kekayaanmu, sebenarnya kamu itu diuji dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada kedua temanmu (si belang dan si botak).” (HR. Al Bukhari dan Muslim, hadits ini juga disebutkan oleh Al Imam An Nawawi dalam Riyadhush Shalihin hadits no. 65)

Di dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia tersebut banyak terkandung faedah dan pelajaran beharga bagi kaum muslimin. Tidaklah Rasulullah menceritakan kisah kejadian umat terdahulu melainkan untuk menjadi pelajaran bagi umat yang datang setelahnya.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
Tanda Kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala

Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Mampu untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Disebutkan dalam hadits ini bahwa Allah subhanahu wata’ala mampu untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh ketiga orang tadi dan memberinya kekayaan serta Allah subhanahu wata’ala pun mampu mencabutnya kembali seperti dua orang tadi yang tidak mau bersyukur.

Segala apa yang ada di langit dan di bumi ini merupakan milik Allah subhanahu wata’ala. Seseorang yang memiliki harta yang melimpah, tidaklah kepemilikan itu ada padanya kecuali hanya kepemilikan yang sifatnya nisbi, kepemilikan yang mutlak hanya di tangan Allah subhanahu wata’ala. Sewaktu-waktu Allah subhanahu wata’ala berkehendak untuk mengambilnya, pasti Dia akan lakukan.

Manusia ini adalah makhluk yang sangat lemah, Allah subhanahu wata’ala mampu untuk membalik keadaan seseorang yang semula kaya menjadi miskin, yang tadinya sehat dan kuat menjadi sakit dan lemah tak berdaya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Katakanlah: Ya Allah Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ali ‘Imran: 36)
Syukur Nikmat, Sebab Dibukanya Pintu Barakah

Seluruh nikmat yang kita rasakan ini datangnya dari Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah lah (datangnya).” (An Nahl: 53)

Oleh karena itulah, kita diwajibkan untuk bersyukur kepada-Nya sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja beribadah.” (An Nahl: 114)

Wujud syukur kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana diterangkan oleh para ulama adalah dengan meyakini bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah subhanahu wata’ala yang kemudian dia memuji-Nya, menyebut-nyebut nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat tersebut untuk hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.

Dalam hadits tersebut kita melihat bagaimana si buta ketika dia bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala. Dia menegaskan bahwa kenikmatan berupa disembuhkannya dia dari kebutaan dan diberinya harta kekayaan itu datangnya dari Allah subhanahu wata’ala. Kemudian dia menginfakkan hartanya tersebut untuk membantu saudaranya yang membutuhkan. Maka Allah subhanahu wata’ala pun berikan barakah kepadanya dengan ditetapkannya harta tersebut kepadanya dan dia pun mendapatkan ridha Allah subhanahu wata’ala.

Dari sini kita bisa mengambil faedah bahwasanya syukur nikmat merupakan sebab ditetapkan bahkan ditambahkannya kenikmatan tersebut. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Jika kalian bersyukur, pasti Aku (Allah) akan tambah (kenikmatan) untuk kalian, dan jika kalian ingkar, sesunggahnya adzab-Ku sangatlah pedih.” (Ibrahim: 7)
Syukur Nikmat, Benteng dari Adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala

Ini merupakan janji Allah subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Mengapa Allah akan mengadzabmu sementara kamu bersyukur dan beriman?” (An Nisa’: 147)
Mengingkari Nikmat, Sebab Mendapatkan Murka Allah Subhanahu wa Ta’ala

Berbeda dengan si buta, si belang dan si botak justru mengingkari nikmat yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada mereka itu dengan menyatakan: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku. Mereka mengingkari bahwa harta yang mereka miliki itu merupakan pemberian dari Allah subhanahu wata’ala. Lebih dari itu mereka enggan untuk menginfakkan hartanya untuk membantu saudaranya yang membutuhkan.

Maka mereka pun mendapatkan do’a kejelekan dari Malaikat dan mendapatkan murka dari Allah subhanahu wata’ala.
Demikianlah, barangsiapa yang tidak mau bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyombongkan diri bahwa harta yang dimilikinya itu merupakan hasil usahanya sendiri dan bukan pemberian Allah subhanahu wata’ala, maka Allah subhanahu wata’ala mengancamnya dengan adzab yang pedih.

Rabu, 01 September 2010

TERNYATA SURGA DICIPTAKAN UNTUK ORANG YANG BERDOSA

Berbicara mengenai perilaku manusia di dunia, tentu tidak akan terlepas dari sesuatu yang disebut dosa. Dosa merupakan ganjaran atas perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia. Setiap manusia yang melakukan perbuatan buruk atau maksiat, hatinya pasti akan merasa tidak tenang. Serasa ada yang mengusik hati dan menghilangkan ketentraman. Hati seringkali dibayang-bayangi oleh rasa takut dan rasa bersalah. Rasulullah SAW bersabda, “Kebaikan adalah akhlaq yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Nawas bin Sam’an.

Sudah menjadi fitrah manusia memiliki dosa dalam hidupnya. Karena manusia kerap kali terbawa oleh hawa nafsunya sehingga ia melakukan maksiat. Walaupun terkadang ia tahu bahwa perbuatan yang sedang ia lakukan itu adalah maksiat yang jelas-jelas dilarang oleh Allah SWT. Hati manusia itu asalnya adalah putih bersih. Namun maksiat yang kita lakukan setiap hari membuatnya menjadi hitam dan gelap. Sehingga banyak sekali manusia yang sulit menerima hidayah dari Allah karena hatinya telah tertutupi noda dan hatinya keras. Akibatnya setiap hari manusia selalu “menghiasi” hidupnya dengan dosa.

Akan tetapi, Allah SWT Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia akan selalu mengampuni dosa-dosa setiap anak Adam selama nyawanya belum berada di kerongkongan (dicabut nyawanya). Allah mengampuni segala macam dosa yang dilakukan anak Adam, kecuali satu, yaitu dosa syirik. Allah tidak akan pernah mengampuni manusia yang telah menyekutukanNya dengan sesuatu selain diriNya.

Allah SWT Maha Adil. Dia menciptakan surga dan neraka sebagai ganjaran atas setiap perilaku manusia selama ia hidup di dunia. Allah menciptakan surga untuk Ia hadiahkan kepada hamba-hamba yang Ia cintai. Kemudian Allah juga menciptakan neraka untuk Ia berikan kepada hamba-hamba yang Ia murkai. Manusia yang selama hidupnya selalu mendedikasikan dirinya untuk agama Allah, segala aktivitasnya selalu diniatkan untuk meraih ridha Allah SWT, maka Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan manusia seperti ini. Seperti yang Allah wahyukan di dalam Al Qur’an Surat Hud ayat 115, “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan”.

Jelaslah bagi kita bahwa Allah tidak akan membiarkan hambaNya yang beriman terlantar begitu saja. Walaupun di dunia ia tidak memiliki kekayaan harta, namun jika ia beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, maka kelak Allah akan gantikan kesengsaraannya selama di dunia itu dengan surga yang maha indah yang tidak akan pernah ia lihat sebelumnya. Begitu pula sebaliknya, bagi manusia yang senantiasa menghabiskan hidupnya dengan mendurhakai Allah, maka Allah pun tidak segan-segan untuk menghukumnya. Bahkan tidak sedikit siksaan yang Allah timpakan pada mereka pada saat mereka masih berada di dunia. Bayangkan saja, siksa Allah di dunia saja sudah amat menyakitkan, apalagi siksaan Allah yang diberikan di neraka.

Akhir hidup manusia akan bermuara kepada dua hal saja, yaitu neraka atau surga. Perjalanan untuk meraih surga akan selalu dipenuhi dengan segala sesuatu yang tidak mengenakkan dan senantiasa menyusahkan. Sebaliknya, perjalanan menuju neraka justru dihiasi dengan segala kenikmatan semu yang melenakan manusia.

Pada hakikatnya, setiap manusia tidak akan pernah bisa “membeli” tiket untuk masuk ke dalam surga Allah, sekalipun selama hidupnya ia habiskan untuk beribadah kepada Allah siang dan malam, berdzikir setiap detik, shalat sunnah setiap hari, melaksanakan berbagai macam shaum sunnah, naik haji setiap tahun, dsb. Namun ternyata semua itu pun tidak dapat diandalkan untuk “membeli” sebuah tiket masuk ke surga. Surga itu amat sangatlah mahal, sehingga tidak sembarang orang bisa masuk ke dalamnya. Hanya orang-orang “kaya” saja yang diizinkan untuk masuk ke dalamnya. Itupun karena izin yang diberikan Allah, bukan karena ia mampu “membeli “ tiketnya.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Amal shaleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya, “Bagaimana dengan Engkau Ya Rasulullah?”. Rasulullah SAW menjawab, “Amal shaleh saya pun tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya, “Kalau begitu, dengan apa kita masuk ke surga?”. Nabi SAW menjawab, “Kita dapat masuk ke surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah SWT semata”.

Ada pula sebuah kisah, dimana ada seorang beriman yang wafat. Kemudian ketika Allah akan memasukkannya ke surga, Allah memerintahkan kepada malaikatnya, “Wahai malaikatku, masukkanlah ia ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Mendengar itu, orang tersebut protes kepada Allah, “Ya Allah kenapa Engkau masukkan aku ke surga karena rahmatMu? Bukankah aku telah banyak berbuat amal shaleh?”. Lalu Allah berkata, “Wahai malaikat, coba timbang nikmat salah satu bola matanya dengan amal shalehnya selama ini!”. Setelah ditimbang, ternyata amal shaleh yang ia lakukan selama ini tidak lebih berat dari sebuah bola matanya. Atau dengan kata lain, seluruh amal shalehnya tidak bisa menandingi berat sebuah bola mata yang Allah karuniakan kepadanya. Betapa terperanjatnya orang tersebut, hingga ia langsung memohon ampun kepada Allah SWT. Akhirnya Allah memasukkannya ke dalam surga.

Jelas sudah, bahwa manusia hanya bisa memasuki surga Allah jika dan hanya jika Allah memberikan izin dan rahmatNya kepada manusia tersebut. Lantas bagaimana cara kita agar mendapatkan rahmat Allah itu? Caranya adalah dengan membuat Allah senang terhadap kita, yaitu dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi semua laranganNya. Jika Allah sudah menyayangi hambaNya, maka tidak ada alasan bagi Allah untuk tidak memberikan kebahagiaan dan berkah kepada hambaNya tersebut. Selain itu, kita juga sangat dianjurkan untuk melaksanakan sunnah-sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Rasul SAW pernah bersabda bahwa barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnah beliau, maka ia bukan termasuk golongan Rasulullah SAW.

Surga bukan untuk dihadiahkan kepada manusia yang tidak pernah berdosa selama hidupnya. Surga juga tidak dihadiahkan untuk orang yang tidak pernah khilaf selama hidupnya. Jika kita mengingat kembali fitrah manusia yang selalu salah, maka sudah barang tentu tidak ada manusia yang tidak memiliki dosa di dunia ini (kecuali Nabi Muhammad SAW, sebab beliau ma’sum/ terbebas dari dosa). Andaikata surga itu diperuntukkan bagi manusia suci yang tidak pernah berdosa, mungkin surga hanya akan diisi oleh Rasul SAW seorang. Tetapi tidak seperti itu. Allah Maha Penyayang kepada setiap hambaNya. Semua manusia yang menghuni surga, mereka adalah orang-orang yang memiliki dosa. Hanya saja, timbangan amal baik mereka lebih berat ketimbang amal buruk mereka. Sehingga amal baik itulah yang mengundang datangnya rahmat Allah kepadanya.

Oleh karena itu, kita tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah SWT. Selama Allah masih memberikan nikmat hidup kepada kita, mari kita manfaatkan sebaik-baiknya.

Wallaahu a’laam,

ALLAH PUNYA RENCANA YANG LEBIH INDAH UNTUKMU

Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Assalaamu’alaykum Wr. Wb.

“Sesuatu yang menurutmu baik untukmu, belum tentu baik menurut Allah untukmu. Dan sesuatu yang menurutmu buruk bagimu, belum tentu buruk menurut Allah bagimu”.

Bagi seorang manusia, keberhasilan adalah suatu kondisi yang selalu ingin dicapai. Tidak ada satupun manusia yang ingin terpuruk dalam kegagalan terus-menerus. Bagi mereka yang mau dan mampu untuk meraihnya, keberhasilan itu akan dapat diraih atas izin Allah SWT.

Seorang mahasiswa pasti mengharapkan sebuah prestasi akademik yang baik. Seorang pengusaha pasti selalu mengharapkan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Seorang pilot pasti mengharapkan agar dapat take off dan landing dengan selamat. Seorang penulis buku pasti mengharapkan agar bukunya dapat diminati oleh banyak orang. Begitupun dengan kita, kita pasti mengharapkan keberhasilan dalam setiap aktivitas yang kita lakukan.

Sebuah keberhasilan merupakan hasil dari suatu usaha yang kita lakukan. Orang yang meraih keberhasilan dalam suatu aktivitas akan disebut sebagai orang yang hebat karena telah berhasil meraih apa yang ia inginkan, sebaliknya, orang yang gagal meraih keberhasilan itu, maka ia akan dikatakan sebagai orang yang gagal. Hal inilah yang terbentuk dalam pola pikir sebagian orang.

Satu hal yang perlu kita ingat, tidak selamanya kegagalan itu menandakan ketidakmampuan kita untuk mencapai suatu tujuan. Sebab kegagalan itu adalah proses atau sebuah jalan panjang menuju titik kejayaan. Kita mungkin sering mendengar kata-kata mutiara Kegagalan adalah awal dari keberhasilan. Ternyata hal ini memang terbukti. Seorang Thomas Alfa Edisson mengalami ratusan kegagalan sebelum akhirnya mampu menemukan lampu. Seorang Bill Gates harus rela dikeluarkan dari kampusnya sebelum akhirnya ia membangun kerajaan IT dunia, Microsoft.

Pada hakikatnya, manusia pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya, hanya saja mereka yang mampu bangkit dari kegagalan itu, itulah keberhasilan yang sesungguhnya. Islam mengajarkan ummatnya bagaimana meraih sebuah keberhasilan dalam hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Perlu kita pahami bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan kuasa dari Allah semata. Artinya, segala sesuatu yang ada di jagat raya ini adalah milik Dia yang menciptakan, yaitu Allah SWT. Sebagai seorang pemilik, Allah berhak berbuat apa saja terhadap ciptaanNya.

Keberhasilan hanya dapat diraih melalui dua cara, yaitu ikhtiar dan tawakkal. Segala upaya dan kerja keras kita dalam mewujudkan tujuan dan mimpi yang ingin kita raih merupakan ikhtiar. Namun bagaimanapun juga, manusia tetap saja seorang makhluk yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk itulah, selain melakukan ikhtiar, kita harus tawakkal kepada Allah dengan memperbanyak ibadah dan do’a agar setiap ikhtiar yang kita lakukan mendapat berkah dan dimudahkan oleh Allah.

Banyak orang yang telah bekerja keras siang dan malam, bahkan sampai menghabiskan sebagian besar waktu, tenaga, bahkan hartanya hanya untuk meraih impiannya, pada akhirnya harus mengalami kegagalan yang pahit. Inilah akibatnya jika kita melupakan Allah dalam setiap ikhtiar/ usaha kita. Kita terkadang merasa pede dengan kemampuan kita sendiri, bahkan sampai menganggap bahwa keberhasilan yang selama ini diraih adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dia lupa bahwa yang memberikan segala kenikmatan itu adalah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kaya.

Ikhtiar dan tawakkal hanyalah sebuah washilah (sarana) kita untuk mencapai tujuan kita. Segala sesuatunya hanya berhak ditentukan oleh Allah saja. Artinya, tujuan atau mimpi yang ingin kita capai belum tentu akan kita raih, sekalipun telah melakukan ikhtiar dan tawakkal yang banyak. Kenapa demikian? Apakah Allah murka pada kita?

Ternyata Allah sangat sayang kepada kita. Allah itu Maha Mengetahui segalanya. Termasuk segala sesuatu yang kita butuhkan, Allah lebih tahu daripada kita sendiri. Karena, segala sesuatu yang kita inginkan, segala sesuatu yang menurut kita baik, ternyata belum tentu baik menurut Allah. Misalnya, si Fulan ingin hidup kaya dan tentram. Dia setiap hari berikhtiar dan bertawakkal agar Allah memberikannya kekayaan kepadanya. Namun pada akhirnya dia tetap saja hidup miskin. Bukan berarti Allah murka kepadanya, lantas tidak memberikan kekayaan pada si Fulan. Tapi Allah tahu, jika ia menjadi orang kaya yang bergelimangan harta, dia akan menjadi kufur dan jauh dari Allah. Oleh karena itulah, Allah tidak mengubah nasibnya agar ia lebih dekat lagi kepada Allah.

Ketika usaha dan do’a kita tidak dikabulkan oleh Allah, itu berarti Allah mempunya rencana lain yang jauh lebih indah daripada rencana yang kita buat.

Selasa, 31 Agustus 2010

Sayap Malaikat

Aku benci diriku sendiri, karena aku dibilang abnormal. Orang lain, semua dapat bermain di atas balok titian dan menaiki sepeda, tetapi aku tidak. Aku telah didiagnosa menderita berbagai kerusakan urat syaraf tulang belakang. Aku tahu akan selalu lebih pendek dari yang lain.

Aku benci ke sekolah, dan aku benci teman-temanku sekelas. Aku benci orang yang melihat diriku, dan menanyaiku banyak pertanyaan. Aku benci jika melihat orang lain tersenyum lebar, dan memiliki badan yang tegap.

Dan yang paling aku benci dari semua ini adalah melihat ke cermin, tampak sosok ganjil yang jelek dan bongkok.

Teman-temanku mengatakan diriku dingin dan menyendiri, dan selalu menjaga jarak dengan orang lain. Aku pikir aku akan selamanya begini sepanjang sisa hidupku, hingga engkau muncul.

Sore itu, aku sedang duduk sendirian di sebuah sudut kampus, sebuah tempat yang aku anggap tidak akan diganggu oleh siapapun. Tiba-tiba, aku mendengar suara.

“Hai. Bolehkah aku duduk di sini?”

Kuangkat kepalaku dan melihatmu. Kamu pendek kekar dengan rambut ikal, dengan sebuah senyum yang menarik di wajahmu. “Apa yang kau lihat?"

“Semut.”

“Lagi ngapain mereka?”

“Nggak tahu.”

“Aku bertaruh mereka pasti sedang bermain dan mulai membentuk kelompok teman. Apakah kau sependapat denganku?"

Begitulah kami mulai sebuah perbincangan. Kami terus berbicara apa saja di bawah cahaya matahari – semut, awan, tempat menyendiri yang kecil ini…, hingga waktu senja.

Tiba-tiba, pandangan matamu jatuh kepunggungku. Kau terus-menerus melihatnya.

“Oh tidak. Hal yang paling kukhawatirkan terjadi! Kamu telah menemukan kelainan pada diriku dan aku yakin engkau kini akan membenciku.”

Engkau berdiri, menunjuk punggungku dan berkata, ”Aku tahu mengapa punggungmu bungkuk.”

Kututup mataku seperti penjahat menunggu hukuman dijatuhkan. Dalam hatiku memohon padamu untuk tidak meneruskan perkataanmu. Tetapi dengan rasa puas engkau terus memandangi punggungku dan berkata, ”Aku tahu apa yang kau punya di punggungmu. Tahukah kau?”

“Tidak.” Aku menjawab dengan loyo.

Engkau berjongkok dan berbisik di telingaku.

“Punggungmu bungkuk karena engkau mendapatkan sepasang sayap dari malaikat.”

Aku bingung. Menatap matamu. Kelembutanmu menyentakkan sanubariku. Saat itu, seluruh baju besi dan sepatu lariku mencair dalam kehangatan hatimu.

Sejak saat itu, aku mulai belajar mencintai diriku sendiri, karena aku memiliki sepasang sayap malaikat, dan seorang sahabat yang demikian baik hati.

Aku Cemburu

Aku terpojok lesu, dibawah sebuah pohon yang cukup meneduhiku...
Kumenarawang ke atas, ke tempat matahari berada...
Basah keringat dan sekaan peluh memenuhi tubuhku..
Aku lelah, aku capai, aku tak berdaya, dan yang memilukan aku tak menyangka...

Begitu beratnya mendapat secuill kecil hak atas surga..
Begitu penuh cercaan hanya untuk memenuhi kewajiban kecil atas dunia..
Hingga kusendiri tak memahami, mungkin juga iri..
Melihat godaan indahnya duniawi ini...

Masih kudongakkan kepalaku ke atas, memandang tanpa makna...
Mulutku menganga tanpa bisa berujar satupun kata kata...
Hingga akhirnya ingin kulepaskan semua beban ini..
Dan kulegakan goresan goresan perih di hati ini...

Kukatakan dengan lantang,

"...
Matahari, penerang siang di hari hariku...
aku cemburu!!! aku cemburu padamu...
iri...iri aku denganmu...
lihat kepalanku, lihatlah ini, kuhantam terikmu..
sedemikian aku benci dalam kekagumanku padamu...

Begitu ikhlasnya kau, menyinari bumi..
tempat jutaan dosa terjadi setiap hari..
tempat manusia lupa syukur pada penciptamu setiap hari..
tempat ruh ruh sombong yang terus berusaha melangkahi pemilikmu tiap hari..

Kau simfoni siangnya pagi untuk memberi warna hari ini,
Kau beri sinar untuk padi dan sahabat sahabatnya memberi energi,
Kau samarkan terik yang membuat mereka mengerti arti perjuangan hidup ini,
Kau ilhami diri ini, untuk menepikan hati pada tepian kehangatanmu saat ini...

Mereka umpatkan terikmu yang menghitamkan mereka...
Mereka kecewakan sinarmu yang memanasi mereka..
Namun kau tidak sungkan hadir di saat masanya tiba..
Kau tidak berpilih ke Bumi lain di saat hinaan itu membahana...

Sedangkan aku, hanya karena bisa berbuat rupa..
sudah begitu bangga dan lupa dunia..
hanya karena cercaan, hinaan dan fitnah saja..
aku menjadi kesal tiada tara...

Aku cemburu padamu..hai Matahari!!!
kenapa tak kau cari saja bumi yang lain...
kenapa tak kau cari sosok yang bisa menghargaimu..
kenapa tak kau cari sesuatu yang lebih bisa memberimu arti...

Aku cemburu...dan terus cemburu padamu...Matahari...

..."

angin semilir yang membiusku, membuatku makin tak berdaya..
diantara kelelahan,kepenatan, dan kelegaan cerita...
aku pun tertidur pulas, diatas rerumputan berwarna hijau tua...
semoga saat ku membuka mata, duniaku lebih berwarna...

Kamis, 26 Agustus 2010

'Seorang lelaki dan iblis yg menangis'

Aku meneguk tehku sampai habis, kemudian
meletakkan cangkirnya di meja kecil samping
tempat tidurku. Kuletakkan buku yang kubaca.
Membuang rasa penat, aku bangkit, berdiri sambil
meletakkan tangan di pinggang, lalu membuat
gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan.
Gemeretak bunyi tulang punggungku terdengar
begitu nikmat.

Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah
rasanya? Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada
kenikmatan lain yang ditawarkan alam padaku. Di
luar, sinar bulan yang baru mulai muncul
menyeruak masuk dari pintu beranda kamarku.
Menyeret sendal kamar di kakiku, aku membuka
pintu beranda.

Maksud hati ingin lebih menikmati indahnya
panorama itu, tapi pemandangan lain kontan
menyedot perhatian di balik pintu yang terbuka.

Seorang, seekor - atau sesosok - Iblis duduk di
beranda. Kukenali dari dua tanduk di kepala, tubuh
telanjang tanpa alat kelamin dan ekor dengan
bentuk mata panah diujungnya. Sinar lampu di
belakangnya membuat posisinya membentuk
seperti siluet the thinker, karya Auguste Rodin.
Sesaat, berandaku terasa seperti galery museum
Decorative Arts di Paris. Mendadak rasa takut
menyelimuti tubuhku. Kuamati lekat mencari tanda-
tanda, apakah ini patung? Atau iblis yang
sebenarnya?

Hah..! Ia mendesah panjang!

Dalam keterkejutanku, kucopot sendal kamarku


dan kulempar sekuat tenaga ke arahnya. Sendal
itu terlalu ringan, dan aku melempar tanpa bidikan
yang jitu. Bukan menampar wajahnya, sendal itu
malah menyangkut di salah satu tanduknya. Dan
itu rupanya tidak cukup mengganggu, apalagi
mengusirnya. Bahkan ia tidak bereaksi sedikit
pun.

Ku tunggu beberapa detik, yang terasa seperti
bermenit-menit. Ia tetap tidak bereaksi. Lalu
kuputuskan mencoba mengusir dengan teriakan
agak keras, "Hush.. Pergi Sana!"

Tapi ia masih disitu. Duduk di ujung kursi
berandaku. Aku sejenak ragu.
Takut, tapi harus berani. Bagaimana pun aku
orang beragama bukan? Orang beragama tidak
boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada
TUHAN. Pada ALLAH sang pencipta.

Jadi kudekati dia lebih dekat, dan kuulangi
teriakan pertama dengan sisa sebelah sandal
kamar teracung di tangan kananku. Ia menoleh
sedikit, dengan sendal kamar masih menyangkut
di tanduknya, membuatku bersiap atas
kemungkinan berhadapan dengan kemarahan sang
Iblis. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Lho?
Ia menangis!

Mataku tertumbuk pada matanya yang berair. Bulir
air mata tampak satu-satu
turun dari sudut matanya. Ia menoleh dengan
sudut lebih besar, sehingga wajahnya kini terlihat
lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis -
walau tentu saja aku tidak pernah tahu gambaran
wajah Iblis sebenarnya. Tapi paling tidak wajahnya
tidak seperti wajah-wajah jin atau iblis dalam film
Hollywood. Mungkin agak mirip tokoh Sith Lord di
Phantom Menace-nya George
Lucas, botak, bertanduk, hidung mancung dan
mata yang besar, tapi cukup
bersih dan cakap.

"Pergi.. Jangan ganggu!", kali ini seruanku lebih
perlahan tapi tetap tegas.


Sesaat ia mengamatiku, kemudian menjawab.
Suaranya terdengar agak parau dan
kasar.

"Mengapa?", tanyanya, "Kau begitu takut
padaku?"

Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia
yang tidak takut Iblis? Tapi
seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan
hanya takut pada ALLAH,
pada TUHAN yang kita sembah. Dan aku orang
beragama, jadi aku berbohong
padanya, "Aku tidak takut sedikit pun padamu!"

Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-
kakek tua.

"Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku?
Pemimpin besar dari segala Iblis?"

"Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan
di seluruh dunia dan akhirat", jawabku. Entah
siapa yang aku coba yakinkan, dirinya atau diriku
sendiri.

"Kau tidak berdusta?", tanyanya.

Aku agak ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu
dosa bukan? Iblis ini memang
sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap
dengannya, aku sudah melakukan
satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar
sandal ke kepala sang Iblis
termasuk perbuatan dosa? Entahlah, mungkin
nanti aku periksa dalam kitab suci - kalau-kalau
ada ayat yang menyatakan tentang itu-. Yang
jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini,
berarti aku sudah berbohong dua kali.

Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit.
Semoga mengangguk kecil tidak
termasuk berbohong.

"Lalu kenapa aku harus pergi?" tanyanya
lagi. "Apakah dengan duduk disini
sudah demikian mengganggumu? Atau kau
demikian benci padaku?"

"Kau Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala
Iblis. Tentu saja aku benci
padamu. Apa yang kau harapkan? Aku
mencintaimu? Edan!"

Iblis itu menunduk. Lalu mulai menangis seperti
anak kecil. Tersedu-sedu,
kepalanya mengangguk-angguk. Sendal di
tanduknya jadi bergoyang-goyang.
Pemandangannya agak lucu sebenarnya, tapi
segera tertepis dengan kecurigaan
yang muncul dalam benakku.

"Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku
Iblis? Hentikan tangismu!
Kau bisa membangunkan seisi rumahku!"

Setelah menarik napas panjang beberapa kali,
isaknya menyurut. Ia menatapku
dengan tatapan sedihnya. "Boleh aku minta teh?"

Aku tidak habis pikir, tentu saja. Untuk apa
seorang -atau sesosok- iblis
minta teh? Kecurigaanku bertambah. Pasti -kataku
yakin dalam hati- ia sedang
merencanakan sesuatu.

Apa pilihanku? Menolak? Bagaimana orang yang
percaya pada Allah bersikap
dalam kondisi begini? Apakah memberi teh pada
Iblis adalah satu dosa?

Seandainya saja ada malaikat yang hadir di sini,
mungkin aku bisa bertanya.
Entah benar atau tidak, malaikat itu rasanya
seperti polisi di negeri ini saja. Saat dibutuhkan,
tak tahu kemana rimbanya. Ataukah mereka ada,
dan aku saja yang tidak mengetahuinya?

Apakah setiap kali Iblis hadir dan menggoda
manusia, otomatis malaikat akan
hadir pula? Seperti visualisasi pertempuran bathin
tokoh-tokoh kartun dalam
film walt disney dimana ada gambaran sosok
bersayap dan sosok bertanduk yang
saling membujuk? Kalau ya, di mana mereka kini?

Aku memincingkan mata, mencoba mencari sosok-
sosok putih bersayap. Di
sudut-sudut beranda, di taman pekarangan, di
balik selasar. Sekali kusenggol
pintu perlahan dengan kakiku untuk mengecek -
jangan-jangan ada malaikat di
baliknya-. Tapi tidak ada tanda-tandanya.

Jadi aku masuk ke dalam, menghampiri poci teh
di meja samping tempat
tidurku. Kuusap bibir cangkir yang bekas kupakai
dengan bajuku, lalu kutuang
teh secukupnya, dan kubawa kembali ke beranda.

"Dengan satu syarat," kataku saat mengacungkan
cangkir teh ke depan
hidungnya. "Habiskan ini, dan tinggalkan
berandaku!"

"Baiklah." katanya sambil mengambil cangkir yang
kusodorkan. Sebaliknya ia
menyodorkan sendal kamarku.

Aku mengenakannya sambil mengawasi ia
menempelkan cangkir ke bibirnya, lalu
menyeruput teh yang masih agak hangat itu.
Perlahan, dan sedikit sekali.
Saat selesai kulihat isi cangkir itu tidak terlihat
berkurang.

Brengsek, makiku dalam hati. Sekali lagi aku
tertipu. Dengan cara minumnya
seperti itu, bisa lebih dari sepuluh kali tegukan ia
baru menghabiskan
secangkir teh setengah penuh. Berapa banyak lagi
tipuan Iblis yang lahir
dari kata-kata manusia sendiri?

"Terimakasih, hangatnya teh ini sangat melegakan
hatiku yang sedang sedih."
katanya sambil memegang cangkir itu dengan
kedua tangannya, seperti mencari
kehangatan di sana.

"Aku tidak akan termakan permainanmu Iblis."
sahutku kasar. "Kebaikanku
memberikan teh, jangan kau artikan kelemahan.
Jadi sebaiknya kau tetap tutup
mulut, cepat nikmati dan habiskan teh itu, serta
segera berlalu dari sini.
Ini bukan rumah yang menerimamu dengan tangan
terbuka."

Ia mengangkat tangannya sedikit menahan kata-
kataku. "Kau orang baik.
Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa
begitu kasar?"

"Kepada Iblis tidak ada larangan berkata kasar."
sahutku.

"Begitukah?" tanyanya hampir pada dirinya
sendiri. "Yang dilarang bukan
perbuatannya tapi kepada siapanya?"

Brengsek. Aku sadar kemana arah pertanyaannya.
Lebih brengsek lagi,
gugatannya memang benar. Dalam banyak hal,
perbuatan memang dilarang bukan
atas perbuatannya, tapi pada siapanya.
Membunuh pun jadi halal ketika
diletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh.
Perkara siapa yang kompeten
menentukan pantas-tidaknya, itu adalah perkara
lain.

Semestinya hanya pemberi kehidupan yang punya
kompetensi untuk mencabut
nyawa. Tapi bahkan TUHAN pun sepertinya
menggunakan sistem perwakilan. Kalau
tidak, bukan tangan malaikat yang mencabut
nyawa manusia, tapi tangan TUHAN
sendiri.

Jadi mungkin wajar pula kalau sebagian orang
merasa jadi wakil TUHAN untuk
mencabut nyawa orang lain. Alasan kafir sudah
cukup untuk hilangnya selembar
nyawa manusia. Walaupun sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan sosok
psikopat Jack The Ripper yang merasa jadi wakil
TUHAN dan membunuhi pelacur.


Ah, aku mengusir pikiran-pikiran yang muncul
dalam benakku. Aku pasti sudah
terjebak dalam permainan kata-kata si Iblis. Ia
memang pandai. Sangat
pandai. Bodohnya aku yang terus membiarkannya
berkata-kata.

"Tahukah kau mengapa aku sedih?" tanyanya.

"Kau hendak mencobai aku, Iblis?"
sergahku. "Jangan kau coba-coba. Aku tidak
akan beranjak dari keyakinanku untuk
mengikutimu."

"Aku hanya bertanya," sahutnya. "Mestinya kau
berempati pada mahluk yang
tengah kesusahan."

"Iblis kesusahan?" kataku sambil sedikit
tertawa. "Tentu saja kau akan
kesusahan sejak kau menantang ALLAH! Dan
tidak ada empati untuk mahluk
penentang ALLAH."

Aku sengaja mengatur nada suaraku agar
terdengar sangat sinis.

"Empati. Memang kau siapa? Untuk korban
kejahatan, korban bencana alam, kaum
dhuafa, empati tentu saja wajib diberikan. Tapi
untuk Iblis macam kau? Untuk
manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan
sosial masyarakat seperti
bandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak
ada empati untuk mereka.
Mereka bukan victim, bukan korban. Mereka
adalah pelaku kejahatan. Apalagi
kau sumber segala kejahatan manusia!"

"Bukankah manusia-manusia yang kau katakan itu
adalah korban juga? Korban
ketidakadilan sosial, korban penindasan politik,
korban masyarakat? Bukankah
melanggar hak asasi manusia kalau tidak ada
sedikitpun empati untuk mereka?"


Di relung-relung benakku, terbersit pikiran kalau
sang Iblis ini mulai
terlihat belangnya. Lihat saja, ia tidak lagi
menangis, dan mulai mencoba
beretorika. Memang benar ajaran-ajaran kitab suci
tentang watak sang Iblis.
Bayangkan saja, ada Iblis berbicara soal Hak
Asasi Manusia! Busuk benar kan?


Persis seperti negara adikuasa yang membom
negara lain atas nama hak asasi
manusia. Persis seperti para pembela agama yang
membunuhi manusia lain.
Walaupun untuk perihal korban, apa yang
dikatakannya benar, tapi mana
mungkin aku terima begitu saja? Persetan dengan
hak asasi manusia! Toh
konsep hak asasi semakin lama sudah semakin
bias, seperti juga konsep-konsep
demokrasi, kebebasan, hukum, semua alur dan
letaknya sudah sangat campur
aduk dalam tatanan hidup masyarakat modern
sekarang ini.

Entah kapan tepatnya, di masa depan komunisme
mungkin malah akan
bersandingan dengan theis, dan bukan dengan
atheis.

Tiba-tiba aku seperti tersadar. Tentu saja! Yang
bertanggung jawab atas
campur aduknya semua itu, tentu adalah sosok di
hadapanku ini! Sang iblis!
Jadi bukan manusia yang keblinger. Bukan
manusia yang jahat. Tapi sang
Iblis!

Bukan manusia yang korup, bukan manusia yang
pemerkosa, bandar narkoba,
maling... Pikiranku terhenti sendiri. Benarkah?
Benarkah bukan manusia yang
menjadi penjahat? Kalau begitu manusia juga
hanya victim? Victim dari
kejahatan si Iblis, penipuan si iblis, hasutan si
iblis.

Iblis ini benar-benar hebat. Apa yang dilakukannya
sesuai dengan
reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis
dihadapanku mulai berkata-kata
lagi.

"Dan katamu aku menentang Allah? Itu tidak
benar!" Wajahnya lebih
menunjukkan raut bingung ketimbang marah.

"Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang
pemberontakanmu menantang ALLAH.
Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi
sifatmu bukan?"

Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku.

"Aku hanya menjalankan perintah ALLAH."
katanya perlahan. "ALLAH
memerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk
menggoda manusia, menguji
sejauh mana ketaatannya pada ALLAH. Apakah
itu berarti menentang ALLAH?"

Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-
katanya, "Kalau Iblis menentang
perintah ALLAH untuk menguji manusia, apakah
ada Iblis yang menggoda
manusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-NYA?
Mengapa manusia harus
membenci aku? Bukankah ini hanya just business
and nothing personal."
katanya dengan raut tidak berdosa.

Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan
lagi kata-katanya.

"Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa
kalian manusia begitu membenci
aku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa
yang diberikan Allah padaku.
Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa
apa-apa atas kekuasaan
Allah?"

Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit
melawan pemikiran dan kata-kata
Iblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata
dalam ayat suci untuk
menjawab sang Iblis.

Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak
hanya membaca -tanpa memahami-
huruf- huruf itu setiap malam. Apakah ada yang
bisa kugunakan untuk melawan
kata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai
runtuh saat aku tidak
kunjung menemukan jawaban yang ampuh.

Mungkin seharusnya ada rumusan untuk melawan
iblis secara jelas. Untuk
menjawab godaan A, bacalah ayat A, untuk jenis
godaan B, bacalah ayat B.
Pada siapa pula aku harus menuntut-nuntut hal
seperti ini. Pada ulama?
Pendeta? Guru ngaji? Penginjil? Literasi dalam
kitab suci tidak diterjemahkan dalam rumusan ces-
pleng model begini. Kita hanya disodorkan pada
dongeng-dongeng, cerita-cerita, hikayat-hikayat
dan harus menimba sendiri inti sarinya.

Berbondong-bondong manusia menjemput
undangan sang Iblis karena kehabisan
pemikiran untuk menyanggah pertanyaan yang
dilontarkan sang Iblis.

Bagaimana cara melawan sosok Iblis dan
pemikiran-pemikiran hebatnya? Dengan
Iman? Hanya thok percaya pada kekuasaan
ALLAH? Bagaimana teknis-praktisnya?
Terpikir olehku satu jawaban : Menyebut nama
ALLAH. Mungkin mestinya itu
yang aku lakukan, tapi alih-alih aku malah
melontarkan satu kalimat
bentakan, "Hah..! Kau benar-benar raja Iblis.
Kepandaianmu memutarbalikkan
fakta memang menjadi ciri yang lekat dengan
Keiblisanmu."

Ia terdiam. Kuharap bentakan itu cukup
meneguhkan keimananku. Cukupkah?
Menunding orang lain jahat memang lebih mudah
dilakukan. Perkara apakah itu
akan mendudukan kita jadi orang yang sama
jahat, itu lain soal. Yang penting
harus ada penegasan, aku tidak sama dengan
kau. Kau penjahat, aku bukan
penjahat. Kau maling, aku bukan maling. Kau
penipu rakyat, aku bukan penipu
rakyat. Pendek kata, kau Iblis, aku bukan iblis.

Pikiranku membangun puing-puing keyakinanku
untuk menghadapi sang Iblis.
Kita perlu kepercayaan diri yang tinggi untuk
melawan ketidakbenaran bukan?
Tidak salah kalau kepercayaan pertama yang
harus dimiliki adalah mempercayai
kita berada di pihak yang benar. Apa yang kita
lakukan adalah benar-benar
benar. Tanpa itu kita akan selalu berada dalam
ambang ambigu. Perkara
kebenaran itu versi kita pribadi, masa bodo lah.
Toh yang kita lawan adalah
sosok kejahatan, dajjal, sang Iblis.

Aku mulai tersenyum seiring tumbuhnya
keyakinan baru. Kutatap wajahnya
lekat-lekat, saat Iblis itu mendongak dan bertanya
tiba- tiba.

"Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut
nyawa?"

Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali
menjawabnya, pikirku.

"Kenapa harus membenci? Ia malaikat! Tentara
ALLAH! Mahluk suci yang tidak
mau berpaling dari ALLAH. Tidak sepertimu!"

"Bukankah ia yang mencabut nyawamu?"

"Ia menjalankan itu atas perintah ALLAH! Itu
tugasnya, Bodoh!" Makianku
akhirnya terlontar juga di atas ketidaksabaranku.

"Bukankah aku pun demikian? Aku hanya
menjalankan tugas." sahutnya perlahan.
"Entah apa kepercayaanmu terhadap ALLAH, tapi
semestinya kau tahu bahwa
rencana ALLAH yang mendudukan manusia - iblis
dan malaikat dalam hubungan
seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita
masing-masing."

Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat
panjang, dan penuh dengan
pertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan.
Walau keyakinanku - bahwa aku
adalah sang benar yang tengah melawan sang
iblis- tidak surut, tapi aku
pikir perlu berpikir secara strategis untuk
menghadapinya.

Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan
Iblis. Bagaimana pun ia Iblis
dan aku manusia. Apakah manusia berkuasa
untuk mengalahkan Iblis? Mestinya,
ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih
rendah atau lebih tinggi dari
kekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia.
Aku tidak tahu, dan tidak mau
berspekulasi.

Melawan kejahatan manusia saja kita perlu
berstrategi, apalagi biang segala
kejahatan ini. Aku pernah membaca di sebuah
buku, gembong kejahatan Al
Capone pernah berkata, Jika kamu tidak bisa
menang dengan bertarung secara
fair, main kotor itu wajib, atau usahakan pihak
ketiga menjalankan
pertarunganmu.

Saat ini tentu saja tidak ada pihak ketiga, karena
hanya ada aku dan sang
Iblis. Begitupula aku tidak akan bisa menang
secara fair. Jadi pilihannya
yang tersisa hanya main kotor.

Jadi aku berkata perlahan saja.

"Okelah, kau sedih karena manusia membencimu.
Lalu apa maumu?"

Ia tampak bingung sendiri. Kepala bertanduknya
menggeleng-geleng perlahan.

"Aku... aku hanya ingin tidak dibenci. Itu saja."

"Bagaimana kalau kukatakan aku tidak
membencimu. Apakah itu cukup bagimu?"
sahutku dengan nada membujuk. Tiba-tiba sebuah
ide muncul dalam benakku.

"Kalau manusia tidak membencimu apakah kau
akan terus menggoda manusia, atau
kau akan pensiun menjadi Iblis?"

Mungkinkah manusia menjadi jalan keselamatan
untuk sang Iblis? Sungguh,
prestasi besar kalau bisa begitu. Apakah ada
bonus pahala khusus untuk
manusia yang bisa menghentikan karya sang Iblis
di dunia? Tiket langsung
menuju surga rasanya pantas untuk ganjaran
prestasi semacam ini. Menumpas
kejahatan, terdengar heroik sekali kan? Walau
dalam prakteknya menggunakan
kejahatan lain, tapi gelar orang suci dan bonus
tiket itu terlalu menarik
untuk dilewatkan. Pantas saja begitu banyak
seruan untuk menumpas pemimpin
negara yang dinilai kafir.

Tiba-tiba ia berkata, "Kalau aku menjadi pengikut
ALLAH yang setia, apakah
manusia tidak akan membenci aku?"

Aku terkesiap sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa
manusia yang mau percaya
bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang
mahal dalam dunia.

"Aku tidak tahu." jawabku. "Hati manusia tidak
bisa terbaca semudah membaca
tulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal
manusia juga tidak terukur dalam
dimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa
kau begitu terganggu soal
benci-membenci ini?"

"Manusia memang begitu." katanya. Sedikit
tersenyum ia melanjutkan. "Kadang
Iblis lebih jujur dibandingkan manusia."

"Hah...!" sergahku pendek.

"Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya
sebagai pembuat kejahatan.
Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan
sang KHALIK - pun manusia masih
bisa berdusta."

"Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat nanti,
tidak akan ada yang mampu
berdusta ketika dihadapkan pada sang KHALIK."
kataku yakin.

"Tapi ya, di dunia bukan?" sang Iblis menatapku
dengan matanya yang kini
tidak berair lagi. "TUHAN, ALLAH tidak hanya
menunggu di perhentian
terakhir. DIA menyertai manusia sepanjang
hidupnya. Apakah kau tidak
merasakannya?"

Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti.
Kadang ada saat-saat ALLAH
terasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga
merasa tidak ada siapapun di
dunia ini. Seperti kalimat dalam film alien-
futuristik : we are all alone.

"ALLAH tidak membutuhkan manusia untuk
merasakannya. Ia pasti hadir." Aku
terkejut sendiri dengan kata-kata yang terlontar
tiba- tiba dari bibirku.
Bagaimana pun, itu jawaban diplomatis yang
bagus bukan? "Tapi manusia sering
berdusta dalam doa, berdusta dalam karya, bicara,
kata-kata dan perbuatan."
kata Iblis.

"Atas bujukanmu tentu." sahutku pendek.

"Atas perintah ALLAH pula tentu." sahutnya
tersenyum.

Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main
kotorku untuk membujuk sang
iblis telah gagal total. Tinggal satu cara
menyelesaikan perdebatan tidak
bermutu ini.

"Enough! Cukup. Jangan lagi tebarkan
kebohongan-kebohongan di berandaku ini.
Silahkan kau habiskan tehku, dan pergilah cepat.
Dan satu lagi." kataku
dengan nada keras. "Jangan coba-coba kembali
kesini. Lain kali aku akan
memakai sepatu boot." kataku mengancam.

Aneh tapi nyata, ancaman itu efektif. Sekali lagi
aku teringat sebaris
kata-kata dari buku tentang gembong mafia Al
Capone, "Kata- kata manis dan
senjata akan mendatangkan lebih banyak hasil,
dibandingkan kata-kata manis."


Iblis itu meneguk teh dalam cangkir dengan satu
gerakan. Ia mengulurkan
cangkir itu ke tanganku, tapi menahannya saat
aku akan mengambilnya.

"Apakah kau masih membenci aku?"

Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang
tuntas untuk sang Iblis. Jadi aku
katakan saja, "Walaupun kita sama-sama mahluk
ALLAH, tapi kita berbeda.
Membencimu adalah dalam koridor tugasku
sebagai manusia dan penyembah ALLAH. It is
just business, nothing personal."

Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak
berbekas. Jam besar di dalam
kamarku berdentang. Aku membereskan cangkir
bekas sang Iblis, dan kembali ke
tempat tidurku. Tepat saat aku menarik buku yang
kubaca kepangkuanku, pintu
kamarku terbuka.

Suster Mary masuk sambil membawa nampan
peraknya. "Waktunya minum obat,
sir!" katanya sambil tersenyum dan menyodorkan
sebutir prozac ke bibirku.
(DBaonk)
* * * *

Glossary :
the thinker = patung terkenal karya Auguste Rodin
yang terinspirasi karya
besar Dante : Divine Comedy. Diletakkan di pintu
masuk Museum Decoratie Arts
di Paris, patung ini kabarnya menggambarkan
sosok Dante sendiri sebagai
seorang pemikir.

Sith = Tokoh antagonis rekaan dalam film George
Lucas Star Wars. Tokoh ini
pertama kali muncul dalam episode pertama Star
Wars (yang justru diciptakan
setelah trilogi episode IV, V & VI).

just business - nothing personal = ungkapan
dalam bahasa Inggris yang
menunjukkan tidak ada kepentingan pribadi
melainkan hanya pekerjaan semata.

enough = cukup.

prozac = obat yang biasa digunakan untuk
penderita schizofrenia (penderita
gangguan jiwa).

Minggu, 04 Juli 2010

Indah Yang Tak Indah

Indah adalah namaku. Tapi sikap dan kehidupanku jauh dari indah.

20 tahun usiaku kini, datang ke ibu kota dari pedalaman Kalimantan yang jauh dari hiruk pikuk dan hiburannya.
Pontianak tujuanku tempat dimana teman sejawatku menorehkan cerita hidup mereka dengan segudang keberhasilan, yang tentunya menggiurkanku. Dan disinilah aku, mengadu nasib, tanpa keahlian, dengan latar pendidikan yang pas-pasan pula.

Pekerjaan yang layak, tempat tinggal yang nyaman, serta penghasilan yang cukup berseliuran di benakku. Inilah alasan terbesar kehadiranku di kota khatulistiwa, dengan berbagai budaya dan etnisnya. Namun… kenyataan tak seindah khayalku.

Indah adalah namaku.
Aku lelaki dengan perawakan tinggi, putih dan berparas lumayan (pengakuan teman-temanku). Tunggu... lelaki bernama indah? Kau pasti tak percaya. Tapi, itulah aku, lelaki bernama indah.

Indah adalah namaku
Dan nama ini bukan ku dapat dapat orang tuaku (kecuali kau beranggapan mereka sinting, menamai anak lelaki mereka dengan nama perempuan). Nama ini kudapat dari diriku, untuk menunjang pekerjaanku.

Pekerjaanku tak seindah namaku.
Berjuang di kota besar ternyata tak semudah yang kukira. Dengan ijazah dan nilai yang teramat biasa, tak satupun perusahaan yang menerimaku. Apalagi para sarjana disana sedang mengantri untuk mendapatkan pekerjaan, dan aku hanya seorang dengan ijazah smp. Dan disinilah aku, di pojok suatu jalan di kota Pontianak, dengan penerangan yang teramat minim, menunggu mereka yang berlalu lalang untuk singgah. Aku, dengan pakaian minim, berwarna cerah mencolok, dengan riasan wajah super menor. Perkenalkan… namaku Indah.

Indah adalah waria.
Satu kenyataan yang menghentakkan ku rasa. Waria… kau pasti akan mencemoohku. Tapi begitula aku, indah si waria.
Hampir tiap malam aku bertugas, berlenggok bak pragawati, melambai bak putri Indonesia, tertawa malu bak wanita sebenarnya. Aku, indah yang tak indah, menghabiskan masa mudaku untuk sebuah pekerjaan yang bahkan tak layak untuk disebut pekerjaan. Sadarkah aku? Ya… aku sadar.

Hidup tak seindah namaku.
Meski tak layak menyalahkan hidup, namum ku tak punya pilihan. Aku tak mungkin menyalahkan diri sendiri atau mereka yang menggiringku ke jalan ini. Lalu siapa yang akan ku salahkan? Pastinya hidup…

Yang aku tahu, hidup adalah anugrah, dan setiap kehidupan telah ditentukan oleh-Nya. Dan anehnya aku merasa apa yang kulakukan saat ini adalah pilihan dari-Nya. Satu persepsi yang salah kan? Tapi itulah aku, mencari pembenaran atas sesuatu yang jelas tak benar.

Pernah aku merenung atas apa yang aku lakukan. Tak jarang aku menemukan kenyataan bahwa aku telah terlalu jauh tersesat, tak tahu jalan kembali. Mereka yang masih perduli padakupun tak henti mengingatkan. Tak jarang aku menangis, menyesali nasib yang Ia pilihkan untukku. Terbersit keinginan untuk merubah jalan hidup, namun pikiran itu hanya sekilas, tak pernah terlaksana.

Aku, indah yang tak indah terus berkubang dalam Lumpur dosa.
Menapikkan kenyataan bahwa yang kulakukan adalah salah. Enggan untuk meninggalkan pakaian minim ini, membuang semua alas rias ini, dan mengenyahkan senyum palsu ini. Aku, semakin terpuruk, diantara tawa riang iblis yang bertepuk atas keberhasilannya mendidikku.

Tuhan maafkan aku. Aku tahu pasti bahwa aku adalah diantara golongan yang akan Kau masukkan ke neraka nanti. Ah… memikirkannya saja aku pusing. Sungguh aku merasa tak layak menyebut nama-Mu dengan kotornya bibir ini.

Dan disinilah aku, masih dengan pakaian yang sama, riasan wajah yang sama, dan senyum menggoda yang sama. Aku… indah yang tak indah.

Fari safa

Kamis, 17 Juni 2010

Buku Merah Itu…

Buku merah itu….
Tergeletak di antara tumpukan buku-buku lainnya, tanpa pernah ia sentuh. Warna merahnya pun kini tak lagi jelas, pudar dan usang.

Buku merah itu….
Dulu sering ia buka dan ia torehkan pena diatasnya. Segala cerita hidup yang tak sanggup ia bagi dengan yang lainnya, ia tuangkan disana. Segala rintihan hati dan harapan akan sesuatu yang takmungkinpun ia simpan rapat disana.

Buku merah itu…
Menyimpan rahasia hati dari seorang gadis remaja yang mempunyai cita-cita yang bahkan melebii kemampuannya. Setiap hasrat ia torehkan disana, setiap duka ia adukan pula disana. Buku tua itu seakan menjadi teman setia bahkan mengalahkan teman yang sesungguhnya ( apakah ia punya teman? ).

Buku merah itu…
Menjadi penerang saat gelap menyelubungi. Ia bagai mendapat cahaya, hanya dengan membukanya dan mulai mengundang cahaya dengan tarian penanya.

Buku merah itu kini ia buka…
Dengan hati-hati ia mulai membersihkan debu yang hampir memenuhi seluruh cover buku merah itu. Satu tiupan dari bibir mungil nan indah, menerbangkan debu yang menari diantara sinar mentari dari celah jendela, meneriakkan pekikan kemerdekaan dari buku merah itu.

Lembar demi lembar buku merah itu ia buka…
Tiap kalimat ia baca dengan seksama. Kadang ia tertawa, namun terkadang ia menangis. Buku merah itu begitu asik menari di tangannya. Mereka seakan sepasang kekasih yang sedang melabuhkan rindu dengan irama cinta. Si gadis seakan teramat sayang kepadanya, terlihat dari caranya membalik tiap halaman dengan hati-hati dan penuh cinta.

Buku merah itu berhenti ia balik di satu halaman…
Air mata si gadis mengambang, tak tahan, jatuh diantara halaman yang terbuka. Seperti mendapat instruksi,air mata itu bergulir, meruntuhkan goresan pena yang tertata rapi dalam tulisan sang gadis, menyisakan noda hitam.

Tulisan itu tak semuanya luntur…
Masih terbaca satu kalimat penyebab terhentinya sang gadis di satu halaman itu. Satu kalimat yang menjadi harapan tertinggi sang gadis. Satu kalimat yang tergores tegas, memandakan betapa besar harapan si gadis…

"Tuhan, jika boleh aku meminta, aku hanya ingin dapat menyebutkan nama-Mu, dengan bibirku. Aku hanya ingin menyapa Ayah dan Ibu, dengan bibirku. Aku.. hanya ingin bisa bicara"

Fari safa

Selasa, 08 Juni 2010

Suara di Pagi hari

Aku terbangun, “Ah sudah jam 5”. Aku bergegas menjalankan rutinitas ku, mandi dan menyiapkan sarapan untuk suamiku. Tapi, ada yang berbeda di pagi itu, sayup-sayup kudengar suara nan indah dari rumah sebelah. Suara itu begitu merdu, syahdu dan menenangkan. Tapi sayang, aku tak punya waktu lama untuk menikmatinya, suamiku bisa marah jika aku telat menyiapkan sarapan untuknya.

Aku dan suamiku baru pindah dari rumah kontrakan kami yang lama. Baru satu hari kami disini, dengan lingkungan yang belum kami kenal tentunya, para tetangga yang ada di sekitarku, menjalankan kewajibanku sebagai mahluk bersosialisasi. Rumah sebelah itu, dimana suara indah nan merdu yang kudapati pagi ini, adalah target utamaku.

Semua siap. Suami telah berangkat kerja, dan aku dengan hasil latihanku di depan kaca, siap menyata mereka, terutama penghuni rumah sebelah. Sejuta kata manis nan indah ku siapkan sebagai bahan obrolan nanti. Senyum terlebar yang kupunyapun siap di bibir. Baju baru (padahal aku hanya memakainya saat acara keluarga) terpaksa ku kenakan, demi memikat hati mereka, tetangga-tetangga baruku.

”Assalamu’alaikum.....” Ku ketuk pintu rumah sebelah itu. Tak ada jawaban, sepi.
”Assalamu’alaikum, selamat pagi ...” Ku ketuk kembali pintu itu. Masih sepi.
“Orangnya ga’ ada bu, tadi pagi pergi ada acara di rumah keluarganya” Tetangga yang lain menyahut.
Setengah mendesah aku berlalu, menghampiri tetangga yang memberitahuku tadi. Ku keluarkan hasil latihanku, senyum terindah, kata-kata penuh sanjungan, dan jadilah aku berbaur bersama mereka, tetangga baruku.

Waktunya pulang, sudah siang. Suamiku takkan senang melihat tak ada apapun untuk makan siangnya, dan aku bergegas.

Aku kembali terbangun. Pagi itu dingin, malas rasanya melepaskan selimut pembalut tubuh. Tapi... sayup-sayup ku dengar kembali suara itu. Aku bergegas meninggalkan kamar, menuju ruang tamu untuk menangkap lebih jelas suara itu. Aku tertegun, suara itu begitu menghipnotisku.
Tapi tunggu dulu, sepertinya aku kenal syair itu. Ini bukan syair, aku tahu betul. Ini adalah sesuatu yang lama tak kulantunkan, aku bahkan meragukan kalau aku masih ingat bagaimana melantunkannya. Ini adalah sesuatu yang telah lama tak kudengar. Ini adalah sesuatu yang terdapat di dalam lemari, tergeletak berdebu tanpa pernah lagi kusentuh. Ini adalah lantunan ayat suci Al-Qur’an.


Suara itu rutin ku dengar setiap pagi. Saat siang datang, aku berharap agar pagi kembali menjelang, karena aku ingin mendengar suara itu, suara tilawah tetangga sebelahku.
Entahlah, suara itu bagaikan terapi bagiku. Disaat aku gelisah, seakan hilang saat aku mendengar suara itu. Disaat emosi menyesak dada, itupun hilang hanya dengan mendengar suara itu. Suara itu menjadi sesuatu yang ku rindu setiap pagi.

Rasa cintaku semakin memuncak pada suara itu. Aku bagai pungguk yang merindukan bulan, seperti anak kecil yang menunggu sang ibu datang dan memeluk tubuh mungilnya, aku bagaikan seorang kekasih yang menunggu pujaan hatinya menghampiri.

Pagi itu, entah mengapa mataku tertuju pada lemari di ruang tamu. Lemari itu biasa, dengan kualitas dan harga yang biasa pula. Namun, bukan lemari itu yang menjadi perhatianku. Tapi sesuatu yang tergeletak di dalamnya, hampir tak pernah kusentuh.

Benda itu berwarna biru, dengan ukiran kaligrafi indah di tiap sudutnya. Namun sayang, warna biru itu telah pudar tertutup oleh debu dan beberapa sarang laba-laba di sisi-sisinya. Saat aku mengangkatnya, dapat ku lihat bekas jari-jariku yang menempel, menyingkirkan debu yang membungkus benda biru itu.

Benda itu Al-Qur’an. Kitab suci yang diagung-agungkan dan menjadi penenang jiwa bagi umat islam sedunia. Namun ditanganku, benda itu hanya sebuah benda yang tak terawat. Menjadi pajangan yang tak tersentuh, hanya sebagai simbol bahwa aku seorang muslim.

Dengan tangan bergetar, ku buka lembar demi lembar kitab suci itu. Ku tiup beberapa debu, berterbangan seolah mentertawakanku. Aku berhenti di satu halaman, dan dengan bibir bergetar, ku coba membaca tiap huruf arab yang tercetak gagah disana.

Tak satupun kata yang keluar dari bibirku. Tak satupun huruf terucap dari mulutku. Lidah ini kelu. Bukan karena gangguan pada indera pengucapku, tapi tak satupun dari tiap huruf itu yang ku tahu cara mengucapkannya, dan aku menangis...

Wahai sang pemilik suara pagi itu, tolong ajari aku agar dapat melantunkan ayat-ayat suci ini, agar aku merasa tenang, damai, dan dekat dengan Tuhan ku...

Selasa, 01 Juni 2010

Journey To Sungai Bemban (Part 3)

Pontianak, 22 Mei 2010 (masih di hari yang sama)

Kawan, ku harap kau tidak bosan mendengar ceritaku. Hanya ingin menceritakan pengalamanku kawan, tak lebih.

Perjalanan kamipun berlanjut, setelah lepas dari razia ilegal yang menguras (keringat dan uang) kami. Untunglah, semangat kami tak ikut terkuras. Bayangan suasana pedesaan yang asri, serta sejuknya air gunung semakin memompa semangat kami untuk terus melanjutkan perjalanan. memasuki daerah Punggur, kami disambut jejeran pohon langsat yang sayangnya saat itu masih belum berbuah, namun menjadi pandangan menyejukkan bagi mata kami yang cukup lelah di tampar angin dan debu, memaksa air mata sesekali bekerja membersihkan sang indera.

Catat... Aku terus berkhayal kawan, akan keindahan desa itu, agar aku tetap bersemangat.

Kali ini kami memasuki perkebunan kelapa sawit. Berbanding terbalik dengan pohon langsat yang menjulang tinggi, menutup tubuh kami dari amarah mentari. Pohon sawit itu terbilang kerdil, seakan menertawakan 6 anak manusia yang tak lepas dari sorotan penerang satu-satunya siang itu, titipan Tuhan yang akan kami syukuri (terutama saat mengeringkan pakaian ^_^).

Daerah perkebunan itu memiliki satu-satunya jalur transportasi, berupa tanah kuning yang berasal dari pegunungan.Kami bersyukur siang itu terik kawan, karena kau dapat membayangkan bagaimana kondisi jalan jika hujan menyiram tanah merah itu (silahkan kau bayangkan). Di tepi jalan, (berdekatan dengan jejeran pohon sawit), masih dapat kau lihat jejak gilasan traktor, yang memenuhi hampir sepanjang jalan. 40 menit kurang lebih waktu yang kau butuhkan melewati kebun sawit dan tanah kuningnya, tanpa perlindungan sedikitpun dengan sorotan bola raksasa di atas sana yang tetap setia mengawasi kami.

Catat... Aku cukup khawatir akan kondisi lingkungan di sekitar perkebunan itu.

Hembusan nafas lega saat kami mencapai tanah merah terakhir. Semakin terbayang keramahan penduduk desa, seakan tak sabar segera bertemu mereka, sembari merebahkan badan ini walau untuk beberapa menit. Namun, bayangan itu harus kami tahan karena perjalanan ini masih menyisakan sekitar 1 jam kedepan.

Catat... Satu jam waktu yang cukup lama untukku.

Kami terhenti di satu ruas jalan. Satu ruas jalan dengan tanah hitam di sepanjang mata memandang. Jalan itu dihiasi dengan rumput liar dan beberapa pohon. Disisi kiri dan kanan terdapat parit yang membatasi jalan tersebut. Parit ini cukup curam kawan, kau akan membutuhkan tenaga dan bantuan ekstra jika kau terperangkap didalamnya. Namun, bukan itu yang membuat kami tertegun, tapi kondisi jalan yang digenangi air dan becek membuat kami harus menelan ludah hanya dengan melihatnya. Balum lagi parit disisi kanan kiri seakan tersenyum menunggu kami menghampirinya dan melumat kami dengan lumpur dan bau, yang dari jauh sudah dapat kami cium aromanya. Dan, disinilah petualangan dan penderitaan kami dimulai.

catat... Aku ragu kami akan tiba tepat waktu.

Bersambung...

Senin, 31 Mei 2010

Journey To Sungai Bemban (part 2)

10.30 (dihari yang sama)

Tibalah waktu keberangkatan. terasa ada yang kurang siang itu. Namun, show must go on. Satria... tolong doakan kami agar perjalanan ini tanpa kendala.

Catat... Satria tak bisa ikut hari itu.

Siang lumayan terik,tak sedikitpun tanda-tanda akan turun hujan. mentari seakan ingin membuktikan betapa perkasanya ia, tak perlu berselimutkan awan untuk membakar kulit 6 anak manusia, kami.

Perjalanan aman tanpa kendala, hingga di satu persimpangan terlihat beberapa pria berseragam dengan peluit di tangan, sigap menghentikan kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Celaka... razia kawan.

Catat... Aku dan mereka takut razia, tak satupun dari kami yang memiliki SIM (surat izin mengemudi), ditambah kondisi kendaraan yang tak beratribut lengkap.

Jadilah, kami menjadi "mangsa empuk" polisi pemburu rupiah. Jalan ini tak seharusnya dijaga kawan, tak pernah dalam sejarahnya. Aku kasihan melihat para aparat itu yang seakan kehabisan uang, mencari tambahan dengan menggelar razia ilegal (dan aku tahu pasti itu ilegal). Tapi tetap seilegal apapun itu, kami harus merogoh rupiah untuk denda. Dan abdul, tak terlihat helm melekat di kepalanya, yang menambah kekhawatiran akan jumlah yang harus kami keluarkan nanti.

Catat... Ya Allah, ampunilah mereka atas apa yang mereka perbuat pada kami dan orang-orang yang senasib dengan kami.

Razia ilegal itu mungkin menjadi pengalaman pahit untuk kami (Aku, Abdul, Ilham, dan Dede), tapi tidak untuk Sandi dan Rendi. mereka hebat kawan, bak seekor elang yang awas, mereka sigap melihat gelagat tak benar para petugas di depan sana, dan mereka berhasil menghindar. SELAMAT!!!

Catat... Sandi memang rider yang hebat (kau akan tahu di kelanjutan kisahku nanti)

Bersambung...

Minggu, 30 Mei 2010

Journey To Sungai Bemban

Pontianak, 22 Mei 2010

Awalnya aku mengira tak kan berangkat bersama mereka pagi itu, tapi Allah berkata lain, dan.. jadilah.

09.00
Pagi yang sempurna, dengan cuaca yang sempurna pula. Hari ini sesuai yang telah dijadwalkan, kami akan berangkat menuju satu desa yang tak terlalu jauh dari kota Pontianak (kurang lebih 3 jam menggunakan sepeda motor), desa kediaman salah satu saudara kami, Abdul Rahmansyah.

Aku cemas, hingga hari yang ditentukan tak jua kudapati tumpangan kendaraan. Tak tega membawa curut (motor kesayangan ku), bukan karena aku pelit atau lainnya, tapi karena kondisi curut yang tak lagi prima. Oleng dibagian ban depan dan belakang membuat curut tak tahan dibawa ke daerah jauh, apalagi di medan yang berat. Dan aku… pasrah untuk tinggal, tak bersama mereka.

Senyum bahagia dan semangat membara kudapati di wajah-wajah mereka saat kami semua berkumpul di tempat yang ditentukan. Aku dan Abdul, ya, hanya kami berdua di situ. Harusnya seluruh personil berkumpul, 7 jumlah kami.

“Dimana yang lain dul” Tanyaku pada Abdul
“Tu dia bang, lom datang sepertinya”
“Ya udah, kita tunggu”

Sembari menunggu, ku nikmati segelas jus sawo kesukaanku. Ingin memastikan, ku kirim beberapa pesan singkat ke beberapa personil yang telat.

“Bentar bang, lagi nungguin Sandi” Balas sms di seberang.
“Cepetan, udah telat ni” Balasku.

Tak lama berselang, Dede pun datang. “Alhamdulillah” Ucapku. Satu personel tiba.

10.00
Semua telah berkumpul, Ilham, Sandi, Rendi, Dede. Abdul, dan Aku.
Tapi tunggu, Satria tak ada di situ. Kembali satu pesan singkat kukirimkan ke nomor Satria. Sembari menunggu balasan, tibalah menjelaskan satu hal yang tak ingin ku ucapkan…

“Sebelumnya abang minta maaf, sebenarnya hari ini abang tak bisa ikut dengan kalian” Tak ada kendaraan alasanku, dan memang itulah penyebabnya.
Suasana hening, tak bersuara. Yang kudapati wajah-wajah yang tak lagi bersemangat,dan aku merasa bersalah.
“Tak asik kalau abang tak ikut” Ilham memecah kesunyian.
“Iya bang” Sahut yang lain.
“Tapi kendaraan tak cukup dek” Ku coba menjelaskan

Lama menunggu balasan, ku pencet nomor Satria, dan terdengar suara di seberang sana. Perbincangan tersebut mengarah pada satu kesimpulan bahwa Satria tak bisa ikut bersama kami, alasan yang memang mengharuskannya untuk tinggal (terkait baktinya terhadap orang tua).

Ku lirik wajah mereka yang duduk di depanku. Hei.. ada apa ini? Mereka tersenyum. Firasatku tak nyaman untuk hal ini.

“Ya udah bang, Satria kan tak bisa ikut, abang aja yang ikut, kan pas tu” Ilham memperjelas kecurigaanku.
“Tapi……”
“iya bang, tak asik kalo abang tak ikut” Sambung rendi.

Dan jadilah aku, bersama mereka siap menuju Sungai Bemban. Dan Satria, maaf bukannya mengambil kesempatan dalam kesempitan, tapi ini keputusan bersama, dengan niat mengoptimalkan fasilitas yang ada. (maaf dek, semua salah abang ^_^).

Bersambung

Sabtu, 29 Mei 2010

Saat Resah Bertandang

Sahabat...
Tak salah jika kita merasa bingung saat resah datang. Kita seakan tak tahu harus berbuat apa, yang ada hanya terpaku, waktu terbuang percuma tanpa hal yang bermakna.
Tak salah sahabat, karena resah memang kerap menyerang.

Namun sahabat...
Semua itu akan menjadi salah saat kau membiarkan dirimu terus dalam "kangkangan" resah. Semua kan menjadi salah saat kau pasrah dalam "pelukan" resah.

Lalu apa yang harus kita lakukan?
Sudahkah kau datang kepada Tuhan?
Sudahkah kau mengadukan semua kepada Sang Pemilik dan Penyelesai Masalah?
Jika jawabanmu belum? maka jangan heran jika resah itu masih bercokol.

Resah itu pada dasarnya datang dari syaitan kawan, maka usir ia dan minta perlindungan darinya kepada Sang Pelindung, Allah SWT.

Adukan resahmu kepada-Nya. Biarkan hatimu mencurahkan segala rasa resah itu pada-Nya. Jangan ada yang kau tutupi, ungkapkan semuanya (karena itu percuma, Ia tahu segala yang tertutup). Biarkan air matamu jatuh, jangan kau tahan, karena Ia senang melihatmu menangis saat kau mengadukan semua pada-Nya.

Jika resah itu datang dan malam masih panjang untuk ditunggu, sirami wajah dan tubuhmu dengan wudhu sahabat.
Angkat kedua tanganmu dan kumandangkan takbir "Allahuakbar" seraya menghadapkan wajahmu pada-Nya. Biarkan dirimu asik berkomunikasi dengan-Nya. Tak harus menunggu malam sahabat, kapan saja kau dapat menghadap-Nya.

Kau pun dapat menggunakan satu jurus ampuh lain untuk mengusir resah, kau mau tahu sahabat?

Biarkan matamu asik memandang keindahan firman-Nya.
Biarkan mulutmu asik melafadzkan kata-kata Maha Dahsyat dalam Kitab-Nya.
Dan sobat, semakin hanyut kau membacanya, semakin jauh resah yang tadinya kau rasakan, dan sedikit demi sedikit resah itu akan hilang, lenyap tak tersisa...




Minggu, 16 Mei 2010

Boneka Untuk Shella

Mila membuka pintu kamarnya. Satu wajah polos dan teduh ia dapati, terlelap dengan dekapan guling yang ukurannya lebih besar dari tubuh mungil itu. Dengan sisa tenaga malam itu, ia menghampiri tubuh bocah 4 tahun tersebut dan mendaratkan ciuman damai di pipi dan kening si bocah.

"Selamat tidur malaikatku" bisiknya, dan berlalu.

Hari-hari yang dilalui Mila sungguh teramat berat untuk gadis seusianya. Di saat gadis 20 tahun lainnya menikmati masa remaja mereka dengan merengguh manisnya bangku kuliah, Mila harus menaklukkan kejamnya hidup degan butiran keringat sebagai kuli angkut di pasar. Lima tahun sudah ia menjadi keluarga dari bau dan lumpur di pasar pagi, sejak keluarga aslinya (ayah dan ibu) meninggal dalam kebakaran 6 tahun lalu.

Kecelakaan itu menorehkan perih yang tak terlupakan, kehilangan orang tua yang menjadi tempat bergantung baginya, perih itupun tergambar buram di pipi kiri Mila, menjelma menjadi luka bakar akibat kebakaran itu. Namun, musibah itupun meninggalkan amanah yang menjadi alasan Mila tetap bertahan, mengisi hari-hari buram sang gadis dengan senyum dan harapan, adik kandungnya Shella.

"Shella ingin boneka kak." Rengek Shella suatu pagi sebelum Mila berangkat kerja.
"Ia, tapi kakak belum punya uang, nanti saja jika kakak dapat uang lebih ya?" Jawab Mila.
"Tapi Shella belum pernah punya boneka, Shella pengen punya satu saja." Tangis si bocah.

Rengekkan bocah kecil itu begitu menyayat, sudah sejak lama Shella menginginkan boneka. Kondisi ekonomi yang tak mendukung membuat Mila harus mencari 1001 alasan untuk si kecil Shella. Tapi kali ini, Mila tak tega, ia tak kuat melihat cahaya hidupnya muram dan bersedih.

"Baiklah, besok kakak belikan ya" bujuk Mila.
"Benar kak?"
"Iya... sekarang Shella makan ya, setelah itu mandi"
"Iya kak." Shella tersenyum memperlihatkan 2 gigi depannya yang bolong.

Hari itu Mila kerja ekstra keras. Tak hanya mengangkut barang-barang, hari itu ia pun menerima tawaran untuk bersih-bersih di pasar, dengan satu tujuan membelikan boneka untuk Shella.

Malam itu purnama. Penat dan lelah yang dirasakan Mila kali ini tak seperti biasa. Seluruh sendi-sendi tulang serasa terlepas dari engselnya, menyisakan tubuh yang lunglai karena bekerja terlalu keras. Namun, lelah itu seakan sirna saat ia melihat wajah polos itu, yang tertidur pulas, menyisakan kedamaian di hati Mila. Senyum di Bibir Mila semakin melebar saat ia memejamkan mata dan membayangkan tawa riang Shella yang memeluk boneka impiannya.

"Ya, boneka itu untuk Shella" gumam Mila sambil tersenyum melihat uang di saku bajunya.

Matahari hampir menampakkan wajahnya. Mila bergegas takut terlambat.
"Kak Mila jangan lupa ya bonekanya" teriak Shella dari balik pintu.
"Ia sayang" jawab Mila dan bergegas menuju pasar pagi di seberang jalan.

Rumah kecil yang mereka tempati berada di daerah kumuh tak jauh dari rel kereta api. Suara bising kereta menjadi irama pengantar tidur setiap malam untuk Mila dan Shella di kontrakan mungil mereka.

Siang itu Mila pulang jauh lebih awal. Ia sengaja pulang awal untuk memberikan kejutan buat Shella, sebuah boneka beruang yang lucu. Langkah cepat dan panjang Mila tempuh, dengan seulas senyum dan boneka beruang merah muda di dekap di dada.

Siang itu tak seperti biasa. Kontrakkan mungil itu dipenuhi tetangga di sekitar tempat tinggal mereka. Mila setengah berlari menuju istana mungil mereka, ia dan Shella.

"Mila, syukurla kau datang, tadi kami mencarimu di pasar tapi kau tidak...."
"Ada apa bu? mana Shella?" tanya Mila memotong perkataan si wanita.
"Shella anu... dia... " si wanita terbata-bata.
"Shella..." Mila masuk ke dlam melewati kerumunan tetangga yang memenuhi rumah mungil itu.

Mila terjatuh di lantai, boneka beruang merah muda itupun terlepas dari pelukannya, menggelinding menghampiri tubuh mungil yang terbaring pucat di lantai.

"Shella, bangun sayang. Ini kakak bawakan boneka yang Shella inginkan. Cantik bukan? Bangun sayang."
Mila mengguncang tubuh mungil itu, mencium dan memeluk, dengan tangis yang tak henti mengalir.

Sore itu sebuah stasiun televisi menayangkan berita mengenai kecelakaan maut, sebuah kereta yang menabrak gadis kecil di sebuah daerah pemukiman kumuh...

Selasa, 27 April 2010

Epilog

Setan mungkin sedang mentertawakan ku saat ini, sekeras dan lebar yang dapat ia tunjukkan.

Terjatuh itu biasa, namun bila jatuh dalam lubang yang sama untuk ke dua kalinya, kurasa bukan hal yang biasa. Ah setan....kau menang.

Aku benci mengakuinya, namun itulah kenyataan. Suatu kenyataan yang membuat aku menjadi satu diantara mereka yang membiarkan dirinya menjadi makanan empuk setan, yang jelas tak ada kebaikan sedikitpun di dalamnya. Sanggupkah aku menatap dunia dan menghadapkan wajahku pada-Nya? Entah...

Mencari tempat untukku mengubur semua, namun tak mungkin. Semua telah tercatat rapi di buku harian malaikat-Nya, dan celakanya, aku tercatat dalam buku catatan dosa. Aku tak mungkin memutar waktu dan memperbaiki yang telah rusak, atau merobek buku catatan yang bentuknya pun tak pernah ku lihat. Lagi-lagi, setan... kau menang.

Hati ini telah berkata "Jangan", tak puas dengan berkata ia bahkan berteriak. Namun aku seakan menutup telinga, ku biarkan hati bagai si bisu yang tak bersuara. Ia coba ingatkanku dengan bujukan yang halus, aku tak merespon. Ia ingatkan aku dengan balasan-Nya atas keingkaranku, aku tetap berpacu dengan dosaku. Wahai hati... maafkan aku.

Aku semakin terpuruk, setan menjadikan ku sebagai kesayangan mereka. Apa yang ku inginkan mereka penuhi, segala yang menghalangi mereka singkirkan. Aku tak lagi mendengarkan bisikan nurani yang semakin hari suaranya semakin mengecil, memelas dan tertutup tawa kemenangan setan.

Samar-samar ku dengar suara berbisik, "bangun....bangun.... kau telah lama terlena".

Aku menoleh, tak ada siapapun. Aku keluar kamar, sepi. Ku lanjutkan kembali hariku yang penuh kesia-siaan.

Suara itu datang lagi, kali ini semakin memelas "Ku mohon bangun, kau telah lama tertidur, aku yakin kau mampu, ayo bangun".

Aku kembali tersadar, mencari sumber suara namun tak ku temukan. Suara kecil itu memanggil-manggil namaku. Tak jarang suara itu menangis dan hilang saat aku mengabaikan panggilanya dan menjumpai teman karibku, setan.

Malam ini, aku mendengar suara itu. Kali ini suaranya begitu jelas, seakan berbisik di telingaku. Suara itu kembali mengajak agar aku menghadapkan wajahku pada-Nya. Namun, aku ragu dan berkata "Aku malu, aku telah lama mengabaikan panggilan-Nya, apa Ia masih mau menerimaku?"
Suara itu berkata "Ia pasti mau, Ia selalu menerima hamba-Nya yang ingin kembali, sejauh apapun sang hamba tersesat"
"Bagaimana dengan teman-temanku, mereka tak ingin aku menjumpai-Nya"
"Mereka setan yang terkutuk, akan selalu menjauhkanmu dati Tuhanmu"
"tapi mereka teman yang baik, selalu bersama dan memenuhi keinginanku"
"Benar, namun juga membawamu semakin jauh dari Tuhanmu".

Aku terbangun, sepi tak ada siapapun. Suara itu hilang, berganti dengan suara binatang malam dan hembusan angin. Suara itu masih terngiang di kepalaku seakan melekat kuat. Ku lihat cahaya di HP, satu pesan masuk. "Bangun saudaraku, kita telah lama tertidur. Saatnya menghadap Sang Pemilik Waktu, untuk mengadu dan memohon ampun". Aku tertegun, tak ada nama pengirim, yang ada hanya aku, menangis diantara tawa teman-temanku, setan...


Kamis, 15 April 2010

Pereda murka Tuhan

kawan, apa kau pernah melihat para penjual nasi di warung-warung kecilpinggir jalan? Mereka menjual nasi lengkap dengan lauk pauknya. Tak jauh berbeda dengan rumah makan besar, merekapun menawarkan aneka lauk pauk, lengkap dengan sambal dan lalapannya. Namun, kau akan menemukan satu fakta, bahwa harga yang mereka patok jauh lebih murah dan dengan porsi yang lebih banyak pula.

Kawan, pernakah kau bertanya apa mereka tidak rugi menjual nasi lengkap dengan harga yang murah? Kenyataannya harga barang sekarang merangkak naik, dan hampir mustahil kau masih dapat menikmati makanan super jumbo dengan harga miring. Atau kau mungkin heran mengapa mereka bisa bertahan dengan usaha yang sama dari tahun ke tahun, tanpa ingin beralih ke usaha lain.

Kau akan mendapatkan kenyataan yang menghentakkan. Para penjual itu tak ingin meraup untung sebesar-besarnya seperti para pengusaha yang tak pernah melihat ke bawah, ke nasib orang-orang yang tak seberuntung mereka. Para pedagang itu hanya ingin mendapatkan sedikit rezeki untuk makan sehari-hari. Sudah bisa makan sehari-hari saja mereka senang, tak perlu mewah, asal makan.

Merekapun tak perlu barang-barang tersier yang megah, sekedar untuk membeli sabun buat keperluan mandi dan menyuci, mereka sudah senang. Tak pernah mereka menginginkan rumah mewah, pakaian indah, atau kendaraan megah yang menghiasi kehidupan mereka, cukup dengan terpenuhinya kebutuhan harian, tanpa harus meminta apalagi bergantung pada orang lain.

Dan kawan, satu alasan yang membuatku tertegun (atau mungkin kau), mengapa mereka tetap bertahan. Dengan senyum tulus mereka akan berkata "Siapa yang akan menyediakan makanan bagi mereka, para kuli dan buruh bangunan yang menjadi pelanggan tetap kami? Mereka tak akan sanggup membeli makanan dengan harga tinggi yang mencekik, sedangkan kebutuhan hidup sendiri sudah cukup mencekik. Asal dapat sedikit keuntungan untuk bertahan hidup, bagi kami tak mengapa".

Kawan, mari kita belajar dari mereka yang mensyukuri hidup. Mereka melihat segala sesuatunya bukan dari sudut pandang materi belaka. Mereka yang diantara kesulitan hidupnya,masih memikirkan kebahagiaan orang lain. Kehidupan mereka mungkin tak lebih baik dari para kuli itu, namun keindahan akhlak mereka jauh lebih baik dari kebanyakan kita.

Kawan, mereka adalah alasan Malaikat Rahmat masih membagikan rezekinya bagi bumi kita. Mereka adalah beludru halus yang saat menyentuhnya akan kau rasakan kelembutan luar biasa. Dan, mereka adalah tiang penyanggah langit, yang tetap menopang kokoh, pereda segala murka dan angkara Tuhan.

Selasa, 13 April 2010

Perahu Ukhuwah

Aku mulai memutar otak,mengingat kembali kapan Allah mempertemukan kami. Baru satu bulan kami saling mengenal (tolong ingatkan aku jika salah), waktu yang ternyata teramat singkat untuk dapat saling memahami dan mengerti, tapi tidak untukku (atau mungkin mereka). Satu bulan yang lalu aku tak tahu untuk apa, namun kini aku mengerti dan mensyukurinya.

Awalnya ku pikir ini akan berat, menghadirkan diriku di tengah-tengah mereka, seperti kau memasuki suatu pemukiman dan kau adalah pusat perhatiannya. Mata mereka tertuju padaku, menghujam tepat diantara paru-paru seakan menghentikan gerakannya memompa udara ke seluruh aliran tubuh. Mata-mata itu penuh tanya, "Siapa kau?" dan yang paling membuatku khawatir, mata itu seakan berteriak lantang "Apa yang dapat kau berikan pada kami", satu tatapan dari mata-mata penuh selidik dan haus, dan aku tak bisa menjawab, apalagi berjanji.

Kini, semua kecemasan itu hilang, berganti dengan satu rasa yang menyenangkan, persaudaraan. Rasa dimana segala sekat seakan terangkat dan hilang dari pandangan. Satu rasa dimana kelemahan terkalahkan oleh kebersamaan yang menyatukan hati serta tujuan. Dan, satu rasa dimana ketakutan berubah menjadi keberanian untuk menatap dunia dan berteriak lantang "Kami siap". Satu rasa yang sungguh aku syukuri.

Saat-saat bersama mereka menjadi saat-saat yang membahagiakan. Berbagi tawa bersama saat segala tingkah mengundang kocak. Berbagi sedih ketika luka menghampiri walau hanya salah satu dari kami. Kami pun berbagi ide dan solusi saat pelik bertandang, mengeluarkan pemikiran bersama.

Tak ada waktu yang terbuang saat bersama mereka, semua dilalui dalam naungan kemanfaatan. Hal sepele yang kami lakukanpun menorehkan manfaat. menyusun agenda-agenda bersama tanpa ada batasan tua dan muda. Satu pertalian yang mulia, di dasarkan pada pilar yang mulia pula, tonggak ukhuwah.

Memandang mereka membawaku kembali ke masa-masa itu, masa dimana diri dipupuk untuk menggali potensi, memberikan yang terbaik dalam tiap karya, dan berpikir jernih sebelum bertindak. Masa saat pertama aku mengecap manisnya persaudaraan dalam balutan keimanan, yang kini menjejalkan sayang dan rindu yang membuncah. Mereka seolah cermin, berdiri tegak di depanku, menyapa dan (terkadang) mengkritik.

Dalam kebulatan tekat aku berjanji, kan ku kayuh perahu ukhuwah ini ke muara nan damai, sejuk dan menentramkan. Muara dimana orang-orang saling berkasih sayang membangun rumah-rumah ukhuwah mereka. Muara dimana mereka yang saling merindukan bertemu dan saling merangkul penuh kehangatan. Muara dimana kedekatan hati seakan menjadi satu dan saling mengisi...




Untuk saudara-saudaraku : Rendi, Satria, Ilham, Sandi, Abdul, Dedek, yang bersama mereka perahu ini akan ku kayuh ke muara itu...


Jumat, 09 April 2010

Ia yang kurindukan

Ada masanya dimana kita akan menemukan titik terjenuh dalam hidup. Jenuh terhadap segala rutinitas, jenuh terhadap segala hal yang di hadapi. Termasuk kesendirian, dan ku rasa titik itu ada padaku kini.

Jujur, aku iri terhadap mereka yang melalui hari dengan senyuman, menatap hari mereka dengan segala kesiapan dan kematangan. Mereka seakan tak pernah takut dan gentar. selalu siap. Bukan karena mereka kuat kawan, tapi mereka memiliki seseorang yang setia menemani, yang selalu berbagi dan menjadi teman dalam mengarungi segalanya, seorang istri.

Teringat seorang kawan, yang menemukan kebahagiaannya setelah menikah. Allah memberikan kemudahan padanya, hal yang tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya. Sungguh indah...

Rasa ini datang bukan karena ingin menagih janji Allah, hanya ingin menyempurnakan iman, dan menjadi salah seorang yang diakui Rasulullah kelak sebagai pengikutnya, dengan menjalankan sunahnya. Walau tanpa bisa di pungkiri, aku pun ingin berbagi rasa sayang ini, rasa sayang yang telah ku persiapkan untuknya (siapapun ia), dengan bersama mengarungi mahligai kehidupan dalam naungan kasih sayang yang Allah titipkan.

Aku sadar, aku bukan sosok yang menawan, dan jauh dari kesempurnaan, tapi apakah aku salah saat di tiap doa kupanjatkan permohonan untuk mendapatkan pendamping yang terbaik? Seorang pendamping yang menenangkan walau hanya dengan melihatnya. Pendamping yang meneduhkan saat bara panas emosi menerpa. Seorang pendamping yang bersamanya ku labuhkan rasa sayang dan janji ku untuk selalu menjaga dan membahagiakannya.

Belajar dari Sayyidina Ali dan Fatimah (putri Rasulullah), sebuah penikahan yang telah diatur oleh Allah, bahkan sebelum Ali melamar Fatimah. Allah telah menikahkan mereka di syurga, sebelum Rasulullah menikahkan mereka di dunia. Sebuah pernikahan yang melahirkan manusia-manusia luar biasa, pewaris para nabi, manusia-manusia kesayangan Allah. Dan aku memimpikannya.

Memanggilnya dengan ucapan yang lembut, tatapan yang menyejukkan, serta prilaku yang membuatnya tersenyum telah ku persiapkan. Bahasa cinta dalam tiap tindak, akan ku berikan untuknya.

Karenanya, dalam iman yang tak seberapa ini, ku panjatkan doa pada-Mu Wahai Sang Pengabul Do'a, berikan kemudahan pada hamba mewujudkan segala impian, membentuk sebuah keluarga yang di dalamnya sentiasa mengegungkan Nama-Mu...

Minggu, 04 April 2010

Ia dan hujan

Hujan kawan, lama ia tak melihat hujan.

Butir demi butir air jatuh menyirami bumi, dan ia tertegun. Bias cahaya merah, kuning, hijau menghias langit diantara butir hujan yang terus bergulir. Benar, ini hujan.

Hampir dua tahun ia tak melihat langit, terkungkung di kegelapan (walau tak secara nyata). Dinding kamar dan segala perabotnya menjadi kawan setia menghabiskan hari-hari kelamnya. Isirahat panjang benar-benar membuatnya lelah, berbanding terbalik dengan hukum alam, dimana istirahat bertujuan menghilangkan lelah. Terlalu lama ia istirahat, melupakan dunia luar yang dulu menjadi bagian kehidupan, yang rasanya tak mampu melewati hari tanpa menyapanya.

Ia tak mampu menutupi rasa bahagia, bahagia akan realita bahwa ia dapat kembali menyapa teman lama, dunia luar. masih segar di ingatan saat ia berlari ketika hujan turun, sekedar mencari perlindungan dari basah dan dingin. Ia terus berlari dan bersembunyi dari hujan, selalu. Kini, seperti segunung rindu membuncah saat butir-butir air jatuh, pecah menghempas kepala, tangan, dan wajahnya. Entah kapan ia memulai, tapi ia telah asik bercengkrama dengan hujan, hal yang ia takuti dahulu.

Ia hanya ingin menikmati kebebasan, tanpa harus terkurung diantara dinding dan tembok yang seakan mengolok kelemahannya. Ia hanya ingin kembali mengenang masa dimana tak ada penghalang antara ia dan dunia.

Kenyataannya, penghalang itu ada, di depan mata pula. Dua tahun ia berada di kangkangan penghalang terkutuk, memisahkannya dari sahabat, kerabat, dan dunia. Penghalang itu merenggut masa indah yang ditaburi keceriaan dan riang tawa. Sebuah penghalang yang menghempaskan dunianya ke lapisan terbawah, rasa putus asa. Penghalang itu mengalir di tiap urat, menaburkan duri yang menancap. Penghalang yang menjelma menjadi satu momok yang menakutkan, Leukemia.

Wajahnya tak lagi merona, pucat seperti mayat. Gerakannya tak lagi lincah, kaku seperti manula. Senyumnya tak lagi menghias bibir, menyisakan rintihan pilu.

Di sisa umur yang tak seberapa ini, ia hanya ingin mengenang masa-masa dulu, kebebasan dan dunia luar. Ia pun ingin membuktikan bahwa ia tak takut lagi akan hujan.

Ia terjatuh, di antara tangisan langit, yang menjelma menjadi butiran indah nan menyejukkan, hujan.

Rabu, 31 Maret 2010

Satria Terakhir (part 2)

Pemuda itu bernama Braganjaya, panglima perang pasukan Kuntala. Terlahir bersama saudara kembarnya yang hanya dipisahkan oleh menit, Bragantara. Semua perang telah ia lalui, tak pernah kalah, kecuali yang satu ini. Perang yang memaksa dua bersaudara yang dikenal sebagai singa perang, kehilangan taringnya. Perang yang merenggut nyawa seluruh pasukan kuntala, kecuali kedua kakak beradik itu.

Braganjaya masih merasakan ngilu di sekujur luka akibat panah pasukan lawan. Panah yang hampir merenggut nyawa sang panglima, panah yang mencoreng wajah perkasa sang singa perang.

Dua hari sudah mereka di dalam gua, bersembunyi dari pasukan musuh. Beragam strategi telah disiapkan, demi membalas kekalahan, dan yang terpenting menuntut keadilan atas kematian pasukan mereka.

"Mereka memiliki pasukan yang terlatih, kuat dan cekatan, peluang kita untuk menang kecil" Bragantara berucap.
"Kita jelas kalah jika berhadapan secara langsung, menyerang secara diam-diam pilihan tepat saat ini" terang Braganjaya.
"Maksud mu kita bunuh satu persatu pasukan mereka?"
"tepat....!".
"Bagaimana dengan lukamu?"

Braganjaya terdiam. Ia ingin memaki atas hadiah yang diberikan pasukan musuh. Hampir mustahil untuknya bertempur dengan luka sebanyak itu.

"Kita tunggu hingga lukamu mengering kakakku"
"Tapi waktu kita tak banyak"
"Pergi dalam keadan seperti ini sama saja mengantar nyawa"
"Tapi...."
"Tidur la kak, kau butuh itu"

Braganjaya hanya bisa menuruti perintah sang adik, lagi pula, ia memang lelah. Ia hanya berharap luka ini cepat sembuh, paling tidak mengering, agar ia dapat segera bertempur.

Bersambung...





Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......