Kamis, 17 Juni 2010

Buku Merah Itu…

Buku merah itu….
Tergeletak di antara tumpukan buku-buku lainnya, tanpa pernah ia sentuh. Warna merahnya pun kini tak lagi jelas, pudar dan usang.

Buku merah itu….
Dulu sering ia buka dan ia torehkan pena diatasnya. Segala cerita hidup yang tak sanggup ia bagi dengan yang lainnya, ia tuangkan disana. Segala rintihan hati dan harapan akan sesuatu yang takmungkinpun ia simpan rapat disana.

Buku merah itu…
Menyimpan rahasia hati dari seorang gadis remaja yang mempunyai cita-cita yang bahkan melebii kemampuannya. Setiap hasrat ia torehkan disana, setiap duka ia adukan pula disana. Buku tua itu seakan menjadi teman setia bahkan mengalahkan teman yang sesungguhnya ( apakah ia punya teman? ).

Buku merah itu…
Menjadi penerang saat gelap menyelubungi. Ia bagai mendapat cahaya, hanya dengan membukanya dan mulai mengundang cahaya dengan tarian penanya.

Buku merah itu kini ia buka…
Dengan hati-hati ia mulai membersihkan debu yang hampir memenuhi seluruh cover buku merah itu. Satu tiupan dari bibir mungil nan indah, menerbangkan debu yang menari diantara sinar mentari dari celah jendela, meneriakkan pekikan kemerdekaan dari buku merah itu.

Lembar demi lembar buku merah itu ia buka…
Tiap kalimat ia baca dengan seksama. Kadang ia tertawa, namun terkadang ia menangis. Buku merah itu begitu asik menari di tangannya. Mereka seakan sepasang kekasih yang sedang melabuhkan rindu dengan irama cinta. Si gadis seakan teramat sayang kepadanya, terlihat dari caranya membalik tiap halaman dengan hati-hati dan penuh cinta.

Buku merah itu berhenti ia balik di satu halaman…
Air mata si gadis mengambang, tak tahan, jatuh diantara halaman yang terbuka. Seperti mendapat instruksi,air mata itu bergulir, meruntuhkan goresan pena yang tertata rapi dalam tulisan sang gadis, menyisakan noda hitam.

Tulisan itu tak semuanya luntur…
Masih terbaca satu kalimat penyebab terhentinya sang gadis di satu halaman itu. Satu kalimat yang menjadi harapan tertinggi sang gadis. Satu kalimat yang tergores tegas, memandakan betapa besar harapan si gadis…

"Tuhan, jika boleh aku meminta, aku hanya ingin dapat menyebutkan nama-Mu, dengan bibirku. Aku hanya ingin menyapa Ayah dan Ibu, dengan bibirku. Aku.. hanya ingin bisa bicara"

Fari safa

Selasa, 08 Juni 2010

Suara di Pagi hari

Aku terbangun, “Ah sudah jam 5”. Aku bergegas menjalankan rutinitas ku, mandi dan menyiapkan sarapan untuk suamiku. Tapi, ada yang berbeda di pagi itu, sayup-sayup kudengar suara nan indah dari rumah sebelah. Suara itu begitu merdu, syahdu dan menenangkan. Tapi sayang, aku tak punya waktu lama untuk menikmatinya, suamiku bisa marah jika aku telat menyiapkan sarapan untuknya.

Aku dan suamiku baru pindah dari rumah kontrakan kami yang lama. Baru satu hari kami disini, dengan lingkungan yang belum kami kenal tentunya, para tetangga yang ada di sekitarku, menjalankan kewajibanku sebagai mahluk bersosialisasi. Rumah sebelah itu, dimana suara indah nan merdu yang kudapati pagi ini, adalah target utamaku.

Semua siap. Suami telah berangkat kerja, dan aku dengan hasil latihanku di depan kaca, siap menyata mereka, terutama penghuni rumah sebelah. Sejuta kata manis nan indah ku siapkan sebagai bahan obrolan nanti. Senyum terlebar yang kupunyapun siap di bibir. Baju baru (padahal aku hanya memakainya saat acara keluarga) terpaksa ku kenakan, demi memikat hati mereka, tetangga-tetangga baruku.

”Assalamu’alaikum.....” Ku ketuk pintu rumah sebelah itu. Tak ada jawaban, sepi.
”Assalamu’alaikum, selamat pagi ...” Ku ketuk kembali pintu itu. Masih sepi.
“Orangnya ga’ ada bu, tadi pagi pergi ada acara di rumah keluarganya” Tetangga yang lain menyahut.
Setengah mendesah aku berlalu, menghampiri tetangga yang memberitahuku tadi. Ku keluarkan hasil latihanku, senyum terindah, kata-kata penuh sanjungan, dan jadilah aku berbaur bersama mereka, tetangga baruku.

Waktunya pulang, sudah siang. Suamiku takkan senang melihat tak ada apapun untuk makan siangnya, dan aku bergegas.

Aku kembali terbangun. Pagi itu dingin, malas rasanya melepaskan selimut pembalut tubuh. Tapi... sayup-sayup ku dengar kembali suara itu. Aku bergegas meninggalkan kamar, menuju ruang tamu untuk menangkap lebih jelas suara itu. Aku tertegun, suara itu begitu menghipnotisku.
Tapi tunggu dulu, sepertinya aku kenal syair itu. Ini bukan syair, aku tahu betul. Ini adalah sesuatu yang lama tak kulantunkan, aku bahkan meragukan kalau aku masih ingat bagaimana melantunkannya. Ini adalah sesuatu yang telah lama tak kudengar. Ini adalah sesuatu yang terdapat di dalam lemari, tergeletak berdebu tanpa pernah lagi kusentuh. Ini adalah lantunan ayat suci Al-Qur’an.


Suara itu rutin ku dengar setiap pagi. Saat siang datang, aku berharap agar pagi kembali menjelang, karena aku ingin mendengar suara itu, suara tilawah tetangga sebelahku.
Entahlah, suara itu bagaikan terapi bagiku. Disaat aku gelisah, seakan hilang saat aku mendengar suara itu. Disaat emosi menyesak dada, itupun hilang hanya dengan mendengar suara itu. Suara itu menjadi sesuatu yang ku rindu setiap pagi.

Rasa cintaku semakin memuncak pada suara itu. Aku bagai pungguk yang merindukan bulan, seperti anak kecil yang menunggu sang ibu datang dan memeluk tubuh mungilnya, aku bagaikan seorang kekasih yang menunggu pujaan hatinya menghampiri.

Pagi itu, entah mengapa mataku tertuju pada lemari di ruang tamu. Lemari itu biasa, dengan kualitas dan harga yang biasa pula. Namun, bukan lemari itu yang menjadi perhatianku. Tapi sesuatu yang tergeletak di dalamnya, hampir tak pernah kusentuh.

Benda itu berwarna biru, dengan ukiran kaligrafi indah di tiap sudutnya. Namun sayang, warna biru itu telah pudar tertutup oleh debu dan beberapa sarang laba-laba di sisi-sisinya. Saat aku mengangkatnya, dapat ku lihat bekas jari-jariku yang menempel, menyingkirkan debu yang membungkus benda biru itu.

Benda itu Al-Qur’an. Kitab suci yang diagung-agungkan dan menjadi penenang jiwa bagi umat islam sedunia. Namun ditanganku, benda itu hanya sebuah benda yang tak terawat. Menjadi pajangan yang tak tersentuh, hanya sebagai simbol bahwa aku seorang muslim.

Dengan tangan bergetar, ku buka lembar demi lembar kitab suci itu. Ku tiup beberapa debu, berterbangan seolah mentertawakanku. Aku berhenti di satu halaman, dan dengan bibir bergetar, ku coba membaca tiap huruf arab yang tercetak gagah disana.

Tak satupun kata yang keluar dari bibirku. Tak satupun huruf terucap dari mulutku. Lidah ini kelu. Bukan karena gangguan pada indera pengucapku, tapi tak satupun dari tiap huruf itu yang ku tahu cara mengucapkannya, dan aku menangis...

Wahai sang pemilik suara pagi itu, tolong ajari aku agar dapat melantunkan ayat-ayat suci ini, agar aku merasa tenang, damai, dan dekat dengan Tuhan ku...

Selasa, 01 Juni 2010

Journey To Sungai Bemban (Part 3)

Pontianak, 22 Mei 2010 (masih di hari yang sama)

Kawan, ku harap kau tidak bosan mendengar ceritaku. Hanya ingin menceritakan pengalamanku kawan, tak lebih.

Perjalanan kamipun berlanjut, setelah lepas dari razia ilegal yang menguras (keringat dan uang) kami. Untunglah, semangat kami tak ikut terkuras. Bayangan suasana pedesaan yang asri, serta sejuknya air gunung semakin memompa semangat kami untuk terus melanjutkan perjalanan. memasuki daerah Punggur, kami disambut jejeran pohon langsat yang sayangnya saat itu masih belum berbuah, namun menjadi pandangan menyejukkan bagi mata kami yang cukup lelah di tampar angin dan debu, memaksa air mata sesekali bekerja membersihkan sang indera.

Catat... Aku terus berkhayal kawan, akan keindahan desa itu, agar aku tetap bersemangat.

Kali ini kami memasuki perkebunan kelapa sawit. Berbanding terbalik dengan pohon langsat yang menjulang tinggi, menutup tubuh kami dari amarah mentari. Pohon sawit itu terbilang kerdil, seakan menertawakan 6 anak manusia yang tak lepas dari sorotan penerang satu-satunya siang itu, titipan Tuhan yang akan kami syukuri (terutama saat mengeringkan pakaian ^_^).

Daerah perkebunan itu memiliki satu-satunya jalur transportasi, berupa tanah kuning yang berasal dari pegunungan.Kami bersyukur siang itu terik kawan, karena kau dapat membayangkan bagaimana kondisi jalan jika hujan menyiram tanah merah itu (silahkan kau bayangkan). Di tepi jalan, (berdekatan dengan jejeran pohon sawit), masih dapat kau lihat jejak gilasan traktor, yang memenuhi hampir sepanjang jalan. 40 menit kurang lebih waktu yang kau butuhkan melewati kebun sawit dan tanah kuningnya, tanpa perlindungan sedikitpun dengan sorotan bola raksasa di atas sana yang tetap setia mengawasi kami.

Catat... Aku cukup khawatir akan kondisi lingkungan di sekitar perkebunan itu.

Hembusan nafas lega saat kami mencapai tanah merah terakhir. Semakin terbayang keramahan penduduk desa, seakan tak sabar segera bertemu mereka, sembari merebahkan badan ini walau untuk beberapa menit. Namun, bayangan itu harus kami tahan karena perjalanan ini masih menyisakan sekitar 1 jam kedepan.

Catat... Satu jam waktu yang cukup lama untukku.

Kami terhenti di satu ruas jalan. Satu ruas jalan dengan tanah hitam di sepanjang mata memandang. Jalan itu dihiasi dengan rumput liar dan beberapa pohon. Disisi kiri dan kanan terdapat parit yang membatasi jalan tersebut. Parit ini cukup curam kawan, kau akan membutuhkan tenaga dan bantuan ekstra jika kau terperangkap didalamnya. Namun, bukan itu yang membuat kami tertegun, tapi kondisi jalan yang digenangi air dan becek membuat kami harus menelan ludah hanya dengan melihatnya. Balum lagi parit disisi kanan kiri seakan tersenyum menunggu kami menghampirinya dan melumat kami dengan lumpur dan bau, yang dari jauh sudah dapat kami cium aromanya. Dan, disinilah petualangan dan penderitaan kami dimulai.

catat... Aku ragu kami akan tiba tepat waktu.

Bersambung...

Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......