Selasa, 08 Juni 2010

Suara di Pagi hari

Aku terbangun, “Ah sudah jam 5”. Aku bergegas menjalankan rutinitas ku, mandi dan menyiapkan sarapan untuk suamiku. Tapi, ada yang berbeda di pagi itu, sayup-sayup kudengar suara nan indah dari rumah sebelah. Suara itu begitu merdu, syahdu dan menenangkan. Tapi sayang, aku tak punya waktu lama untuk menikmatinya, suamiku bisa marah jika aku telat menyiapkan sarapan untuknya.

Aku dan suamiku baru pindah dari rumah kontrakan kami yang lama. Baru satu hari kami disini, dengan lingkungan yang belum kami kenal tentunya, para tetangga yang ada di sekitarku, menjalankan kewajibanku sebagai mahluk bersosialisasi. Rumah sebelah itu, dimana suara indah nan merdu yang kudapati pagi ini, adalah target utamaku.

Semua siap. Suami telah berangkat kerja, dan aku dengan hasil latihanku di depan kaca, siap menyata mereka, terutama penghuni rumah sebelah. Sejuta kata manis nan indah ku siapkan sebagai bahan obrolan nanti. Senyum terlebar yang kupunyapun siap di bibir. Baju baru (padahal aku hanya memakainya saat acara keluarga) terpaksa ku kenakan, demi memikat hati mereka, tetangga-tetangga baruku.

”Assalamu’alaikum.....” Ku ketuk pintu rumah sebelah itu. Tak ada jawaban, sepi.
”Assalamu’alaikum, selamat pagi ...” Ku ketuk kembali pintu itu. Masih sepi.
“Orangnya ga’ ada bu, tadi pagi pergi ada acara di rumah keluarganya” Tetangga yang lain menyahut.
Setengah mendesah aku berlalu, menghampiri tetangga yang memberitahuku tadi. Ku keluarkan hasil latihanku, senyum terindah, kata-kata penuh sanjungan, dan jadilah aku berbaur bersama mereka, tetangga baruku.

Waktunya pulang, sudah siang. Suamiku takkan senang melihat tak ada apapun untuk makan siangnya, dan aku bergegas.

Aku kembali terbangun. Pagi itu dingin, malas rasanya melepaskan selimut pembalut tubuh. Tapi... sayup-sayup ku dengar kembali suara itu. Aku bergegas meninggalkan kamar, menuju ruang tamu untuk menangkap lebih jelas suara itu. Aku tertegun, suara itu begitu menghipnotisku.
Tapi tunggu dulu, sepertinya aku kenal syair itu. Ini bukan syair, aku tahu betul. Ini adalah sesuatu yang lama tak kulantunkan, aku bahkan meragukan kalau aku masih ingat bagaimana melantunkannya. Ini adalah sesuatu yang telah lama tak kudengar. Ini adalah sesuatu yang terdapat di dalam lemari, tergeletak berdebu tanpa pernah lagi kusentuh. Ini adalah lantunan ayat suci Al-Qur’an.


Suara itu rutin ku dengar setiap pagi. Saat siang datang, aku berharap agar pagi kembali menjelang, karena aku ingin mendengar suara itu, suara tilawah tetangga sebelahku.
Entahlah, suara itu bagaikan terapi bagiku. Disaat aku gelisah, seakan hilang saat aku mendengar suara itu. Disaat emosi menyesak dada, itupun hilang hanya dengan mendengar suara itu. Suara itu menjadi sesuatu yang ku rindu setiap pagi.

Rasa cintaku semakin memuncak pada suara itu. Aku bagai pungguk yang merindukan bulan, seperti anak kecil yang menunggu sang ibu datang dan memeluk tubuh mungilnya, aku bagaikan seorang kekasih yang menunggu pujaan hatinya menghampiri.

Pagi itu, entah mengapa mataku tertuju pada lemari di ruang tamu. Lemari itu biasa, dengan kualitas dan harga yang biasa pula. Namun, bukan lemari itu yang menjadi perhatianku. Tapi sesuatu yang tergeletak di dalamnya, hampir tak pernah kusentuh.

Benda itu berwarna biru, dengan ukiran kaligrafi indah di tiap sudutnya. Namun sayang, warna biru itu telah pudar tertutup oleh debu dan beberapa sarang laba-laba di sisi-sisinya. Saat aku mengangkatnya, dapat ku lihat bekas jari-jariku yang menempel, menyingkirkan debu yang membungkus benda biru itu.

Benda itu Al-Qur’an. Kitab suci yang diagung-agungkan dan menjadi penenang jiwa bagi umat islam sedunia. Namun ditanganku, benda itu hanya sebuah benda yang tak terawat. Menjadi pajangan yang tak tersentuh, hanya sebagai simbol bahwa aku seorang muslim.

Dengan tangan bergetar, ku buka lembar demi lembar kitab suci itu. Ku tiup beberapa debu, berterbangan seolah mentertawakanku. Aku berhenti di satu halaman, dan dengan bibir bergetar, ku coba membaca tiap huruf arab yang tercetak gagah disana.

Tak satupun kata yang keluar dari bibirku. Tak satupun huruf terucap dari mulutku. Lidah ini kelu. Bukan karena gangguan pada indera pengucapku, tapi tak satupun dari tiap huruf itu yang ku tahu cara mengucapkannya, dan aku menangis...

Wahai sang pemilik suara pagi itu, tolong ajari aku agar dapat melantunkan ayat-ayat suci ini, agar aku merasa tenang, damai, dan dekat dengan Tuhan ku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages

Welcome to my world

Satu dunia yang akan membuat mu mengenalku lebih jauh.
Siapa aku? bagaimana aku? Selamat datang.......